Tradisi Nyangku di Panjalu, Pesta Rakyat dan Ekspresi Budaya



Catatan DHIPA GALUH PURBA

SITU Lengkong sangat erat kaitannya dengan tradisi nyangku. Sebelum menceritakan Situ Lengkong, pemaparan pertama adalah salah satu kebudayaan yang membumi di Desa/Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat bernama nyangku. Tradisi tersebut digelar secara konsisten setiap tahun dan melibatkan masyarakat Panjalu. Tradisi nyangku selalu menarik perhatian masyarakat luas. Terlebih bagi warga Panjalu yang berdomisili di Panjalu, maupun yang merantau di kota-kota besar.

Bagi warga Panjalu, nyangku sudah menjadi hari besar yang biasanya tidak dilewatkan begitu saja. Selain hari raya Iedul Fitri, acara nyangku pun menjadi momen tepat para perantau untuk pulang kampung. Tentu, masyarakat yang lebih luas pun segera bereaksi dengan adanya kegiatan ini. Ribuan masyarakat selalu membanjiri kota kecamatan Panjalu setiap kali digelar upacara tradisi nyangku.

Biasanya, seminggu menjelang digelarnya upacara nyangku, suasana Panjalu terasa semarak. Ratusan umbul-umbul berjejer rapi sepanjang jalan yang melintasi pusat kota. Demikian pula dengan Alun-alun Panjalu yang telah ditata untuk pelaksanaan Upacara Nyangku.

Kegiatan ini berlangsung setiap bulan Mulud, pada hari Senin atau Kamis di minggu terakhir. Nyangku merupakan syukuran warga Panjalu dalam memperingati pertama kalinya Prabu Boros Ngora melakukan syiar Islam di tanah Panjalu. Oleh karena itu, nyangku menjadi agenda penting yang telah turun-temurun melestarikan kegiatan yang telah menjadi citra budaya Ciamis di tingkat nasional.

      Menurut sesepuh Panjalu, RH Atong Tjakradinata, kata ”nyangku” berasal dari kata “yanko” (bahasa Arab), yang artinya membersihkan. Prosesi ritual Nyangku secara lahiriah adalah membersihkan dan merawat benda-benda pusaka peninggalan raja-raja Panjalu yang disimpan di Bumi Alit, terutama pusaka peninggalan Prabu Boros Ngora. Sedangkan secara batiniah, nyangku adalah cermin untuk merevitalisasi kembali perilaku hidup yang berpedoman kepada amar ma’ruf nahi munkar.

Menurut pengakuannya, Atong Tjakradinata adalah turunan ke-14 Prabu Borosngora. Garis keluarga secara singkatnya yaitu: Prabu Boros Ngora - Prabu Hariang Kancana (makamnya di Nusagedé) – Prabu Hariang Kuluk Kunang Téko (makamnya di Cilanglung) – Prabu Hariang Kanjut Kadali Kancana (makamnya di Sareupeun) - Prabu Hariang Kada Cayut Martabaya (makamnya di Hujungwinangun) – Sembah Dalem Aria Sacanata – Sembah Dalem Wira Dipa (makamnya di Maparah) – Sembah Dalem Cakranagara I (makamnya di Cinagara) - Sembah Dalem Cakranagara II (makamnya di Puspaligar) - Sembah Dalem Cakranagara III (makamnya di Nusagedé) – Demang RH. Prajadinata (makamnya diMekkah) – RH. Muh. Nur Tcakrapradja – RH. Nur Rohman Galim Tjakradinata – RH. Atong Tjakradinata.

Kegiatan nyangku biasanya berlangsung sehari semalam. Pada malam hari menjelang nyangku, dilaksanakan acara muludan dan pengajian, yang dilanjutkan dengan membaca sholawat-an diiringi tetabuhan gembyungan semalam suntuk di Bumi Alit. Adapun Bumi Alit adalah tempat penyimpanan benda-benda pusaka peninggalan leluhur Panjalu, letaknya tidak jauh dari Alun-alun Panjalu.

       Esoknya, benda-benda pusaka yang ada di Bumi Alit akan dibawa menuju Nusa Gede, Situ Lengkong Panjalu yang berjarak sekitar 600 meter dari Bumi Alit. Para tokoh sesepuh dan kawula muda membawa pusaka, menyeberangi Situ Lengkong, menuju Nusa Gede.

Di sana, rombongan melaksanakan acara tawasulan di lingkungan makam Dipati Hariang Kancana. Selepas itu, perjalanan dilanjutkan menuju Alun-alun Panjalu untuk melaksanakan ritual penyucian pusaka di menara bambu yang berdiri setinggi dua meter. Sebelum dicuci, seluruh pusaka dibariskan di atas kasur khusus diatas panggung. Kemudian, balutan kainnya dibuka.

Satu persatu benda-benda tersebut diperkenalkan kepada pengunjung, sekaligus diceritakan pula riwayatnya disertai penjelasan bahwa benda-benda itu bukan untuk disembah, tetapi untuk dipelihara karena mengandung nilai sejarah. Selanjutnya, pusaka-pusaka utama yang terdiri dari Pedang, Kujang, dan Gentra (gong kecil) itu mulai dicuci di atas menara bambu oleh tokoh sesepuh dan kawula muda.

Momen inilah yang ditunggu-tunggu para penonton. Penyucian pusaka merupakan puncak sugesti. Pengaruhnya mampu membuat warga berdesak-desakan berebut air cucian yang jatuh dari atas menara. Baik untuk di bawa pulang atau dibasuhkan langsung ke wajah sebagai ekspresi dari keyakinan ngalap berekah.

Fenomena seperti ini memang selalu ada dan sulit untuk dihilangkan walau sudah dihimbau oleh para petugas bahwa air tersebut jangan dipergunakan untuk hal lain. Namun, sebagian warga tidak peduli. Kenyataan seperti itu tidak berbeda dengan Pelaksanaan Upacara Panjang Jimat di Cirebon dan Sekatenan di Yogyakarta, ketika air bekas mencuci pusaka selalu diperebutkan karena dianggap memiliki barokah tertentu.

Air yang digunakan untuk mencuci pusaka Panjalu berasal dari sembilan mata air yang berasal dari Karantenan, Gunung Bitung, Citatah, Kubang Kelong, Cibatu Agung, Giyut Tengger, Cipanjalu, Cipanuusan, dan Situ Lengkong Panjalu. Setelah dicuci, dikeringkan dengan asap kemenyan, dan dikemas kembali (dibungkus), benda-benda pusaka itu disimpan kembali ke Bumi Alit. Hal itu sekaligus menandai bahwa prosesi ritual nyangku telah berakhir.

Terkait dengan tradisi Nyangku, untuk menunjang momen puncak itu, di Panjalu juga biasa digelar Festival Budaya Nyangku yang dimulai pada dua minggu sebelum puncak acara. Festival ini biasanya ditandai dengan hadirnya pasar malam dan bazar rakyat. Puluhan pedagang bersimbiosis dengan ombak banyu dan permainan rakyat lainnya, yang menjadi hiburan dan sajian menarik bagi masyarakat Panjalu, khususnya remaja dan anak-anak. Selain pasar malam, dalam festival ini biasa di selenggarakan pula berbagai kegiatan keagamaan, kesenian dan olahraga.




Cerita mengenai situ Lengkong Panjalu terdiri dari banyak versi.  Masyarakat Panjalu mempercayai sejarah Situ Lengkong berkaitan dengan perjalanan Prabu Boros Ngora, pangeran dari kerajaan Panjalu, yang selalu haus dalam menuntut ilmu. Ayahnya, Prabu Cakra Dewa memerintahkan Boros Ngora untuk mencari ilmu untuk kesejahteraan dan keselamatan rakyat Panjalu.

Dalam kelanjutan kisah ini, Boros Ngora berkelana sambil menuntut ilmu ke Ujungkulon. Namun, ilmu yang dipelajari Boros Ngora adalah ilmu kadugalan (kekebalan). Ilmu sakti yang telah dimiliki Boros Ngora diantaranya adalah “Ras-Clok”. Ilmu tersebut dapat mengantarkan Boros Ngora kemana pun yang diinginkan dalam waktu sekejap. Meski ilmu yang Boros Ngora terbilang tinggi, tetapi Cakra Dewa tidak menyukainya, karena bukan ilmu kekebalan yang dapat diandalkan untuk mensejahterakan rakyat Panjalu.

Selanjutnya Cakra Dewa memerintahkan Boros Ngora untuk kembali berkelana. Cakra Dewa membekali putranya dengan sebuah gayung karancang, gayung yang bolong-bolong. Boros Ngora pun segera berangkat meninggalkan istana Kerajaan Panjalu dan sampailah ke negeri Mekkah. Diceritakan Boros Ngora bertemu dengan Sayidina Ali. Mulanya Boros Ngora meremehkan Sayidina Ali. Namun, ketika telah menyaksikan kesaktian Baginda Ali, barulah Boros Ngora mengakui ketangguhannya. Boros Ngora mendapat tantangan untuk mencabut tongkat yang ditancapkan Sayidina Ali. Dan ketika tongkat itu dicabut, Boros Ngora tidak mampu melakukannya.

Setelah itu, Boros Ngora berguru kepada Sayidina Ali. Boros Ngora tertarik untuk mempelajari dan mendalami agama Islam. Dan tentu saja Boros Ngora memeluk agama Islam dengan ikhlas dan bersungguh-sungguh. Ilmu-ilmu agama Islam diajarkan kepada Boros Ngora.

Setelah dipandang cukup oleh Sayidina Ali, maka Boros Ngora akhirnya diizinkan untuk kembali ke tanah Panjalu dan mensyiarkan agama Islam. Baginda Ali membekali Boros Ngora dengan sebilah pedang dan segayung air zam-zam dalam gayung kerancang.

            Boros Ngora menumpahkan air zamzam ke Legok Jambu. Tiba-tiba, segayung air zamzam di Legok Jambu berubah menjadi air bah yang mampu menggenangi seluruh Legok Jambu, yang selanjutnya menjadi sebuah danau bernama Situ Lengkong Panjalu. Danau tersebut mengelilingi sebuah pulau kecil bernama Nusa Gede. Di pulau kecil itulah kemudian Boros Ngora membangun istana Kerajaan Panjalu, dan memindahkan pusat kerajaan ke Nusa Gede.

Beberapa orang ahli sejarah beranggapan bahwa pemilik nama Boros Ngora adalah Prabu Buni Sora Suradipati (Mungkin dikarenakan kemiripan nama). Hal itu ditolak oleh KH. Atong Tjakradinata, dengan alasan Prabu Buni Sora Suradipati hidup pada abad ke-13, tatkala zaman Kerajaan Sunda Galuh. Sedangkan Prabu Boros Ngora sempat berguru kepada Sayyidina Ali RA yang hidup pada abad ke-6. Sebagian ulama di Panjalu beranggapan bahwa pertemuan Prabu Boros Ngora dengan Sayyidina Ali RA merupakan pertemuan secara hakikat, sebagaimana diketahui bahwa ilmu-ilmu yang dimiliki para sahabat nabi sangat dahsyat.

Hal yang lebih mengagetkan adalah K.H. Abdurachman Wahid turut berpendapat mengenai sejarah Panjalu. Menurutnya, sebagaimana diliput oleh Jawa Pos, nama asli dari Kiai Panjalu adalah Sayyit Ali Bin Muhammad Bin Umar yang hidup pada masa Kerajaan Padjadjaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi.

Adanya silang pendapat seperti itu, tidak mengakibatkan munculnya perpecahan di Panjalu. Justru kini Situ Lengkong Panjalu semakin dipadati oleh para peziarah yang datang dari berbagai pelosok tanah air. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan silang pendapat mengenai sejarah Panjalu. Yang pasti, semua berkeyakinan bahwa tokoh yang dimakamkan di Situ Lengkong Panjalu adalah orang saleh, yang membaktikan hidupnya untuk kepentingan agama.***

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post