Berkaca Kepada Suhadma - Puisi H. Usep Romli HM



BERKACA KEPADA SUHADMA
Puisi H. Usep Romli HM

 
  Setiap ziarah ke pemakaman keluarga
  Selalu singgah ke makam Suhadma
  Lelaki panjang usia, seperti tertera pada nisan :
  “Suhadma bin Abah Ohim, lahir 1935, wafat 2005”
  Lelaki yang sejak usia lima belas
  Kabur dari kampung menuju Bandung
  Meninggalkan segala kenangan
  Takut oleh ancaman gerombolan
 
   Kukenal ia pada suatu hari akhir  1966
   Ketika aku jalan-jalan lewat pekampungan
  Menenteng kamera kotak Yashica
   Sambil bergaya cari perhatian perawan desa.

   “Kamu wartawan?”tanya seseorang berperawakan sedang
   Dandanan bergaya kota. Celana sempit “Sadleking”, kemeja belang
   Menenteng  jeket “Shadow”, menjinjing sandal “Daimatu”
  Mengisap rokok “VIP Presiden”, menyeberang  pematang
  “Aku mau ke kota. Kau juga?”

Kujawab, tidak. Sekedar cari ilham saja.”
  Kemudian ia bicara perihal kamera. Tentang aneka merek dan keistimewaannya.
  “Ya, seperti Yashica yang kaubawa. Ada juga”, “Leica dan Minolta”
 “Orang macam apa ini,”aku tercenung.”Banyak tahu tentang alat potret.
   Aku sendiri cuma bisa asal jepret”.
   Ketika kutanya siapa dan darimana, ia menjawab :
   “Datang saja ke bioskop “Elita”. Tanya nama Suhadma. Aku asli orang sini
 
Tapi sejak  tahun 1950, mengungsi. Luntang-lantung di Bandung
  Kerja apa saja, asal halal. Mulai dari tukang sampah, loper koran, calo karcis bioskop
 Hingga masuk menjadi petugas loket, membersihkan proyektor, dan macam-macam
  Pada masa itu, kerja dan usaha di bidang perbioskopan sangat menguntungkan.

  Sebulan kemudian, kami jumpa lagi. Mengobrol di rumahnya di desa tetangga.
  Ia mengisahkan kegemaran nonton film sambil “kokoboyan”
  “Ya meniru-niru adegan para bintang di setiap zaman
  Cara bicara, dandanan, pacaran
   Harus mirip dengan penampilan para aktor pujaan.”

  Konon, ia banyak menonton film-film lama
  yang diputarulang di bioskop murahan
  Seperti  Taman Hiburan, Padasuka dan Cahaya

Di situ, ia menyaksikan kehebatan “para koboy” Western :
Roy Rogers,  Randloph Scot, Ronald Reagan, Allan Ladd.
Juga Kirk Douglas, Charlton Heston, Rod Cameron.
 Ia juga hapal beberapa lagu  “soundtrack” film  terkenal
Seperti “Sunny Side  Up”  Charles Farrel dan Janet Gaynor
Atau “Sabrina” yang dibintangi Humprey Bogart , Audrey Hepburn, William Holden

 Obrolan Suhadma di suatu senja akhir 1966 itu
 Menjadi ilham bagiku untuk menulis artikel sederhana
Tentang pengaruh film di bioskop terhadap anak-anak muda
Ternyata tulisanku tak lama menunggu

Dimuat pada sebuah surat kabar ternama dengan honor lumayan juga
Sejak itu aku makin akrab dengan Suhadma. Sering berkunjung ke kediamannya
Kamar sempit di gang becek belakang terminal Kebon Kalapa
Tapi ia hidup bahagia. Tiap bulan gajian. Cukup untuk seorang bujangan
Mentraktir seorang teman muda yang kelimpungan mencari jatidiri
Ingin menjadi penulis yang mampu hidup mandiri.

Di dinding kamar Suhadma, terpampang banyak foto dalam aneka gaya
Mirip Si Bintang terkenal.
“ Nah, seperti ini !”

Ia menunjukkan foto dirinya berpose seperti James Dean
Berjaket  -- harusnya merah, sayang masih hitam-putih – mengacungkan pisau lipat
Persis sosok bintang yang mati muda itu – 24 tahun – dalam “Rebel Without Cause
Atau “pasfoto” besar dengan rambut kelimis persis Tony Curtis
Di sudut dekat lemari, foto berdua bersama pacar memakai rok pendek.
“Ini kekasihku dulu, meniru rok Marilyn Monroe  dalam film “Niagara”.
Kekasih-kekasihku yang lain, memakai rok dan  rambut para artis
Dari Grace Kelly,Jeanette Mc Donald, hingga Dorothy Janis

Ia juga menunjukkan foto-foto lain yang wajahnya berhiaskan kumis tipis
Konon meniru kumis Clark Gable dan Errol Flyn.
(Kemudian aku mengerti, mengapa Suhadma menjadi bujangan tua
 Mungkin terlalu banyak pacar di mana-mana
 dan satupun dianggap tak setia
Untuk diajak hidup berumah tangga)

“Bioskop memang lingkungan hidupku,
sumber  terbaik nafkahku yang terbaik, “ia berkisah
 Sejak jadi calo karcis, hingga kerja tetap,
bioskop menyenangkan dan menguntungkan”.
Ia mengenang masa keemasan secagai calo karcis.
Selain dapat nonton gratis

Dari selembar dapat lima puluh picis
Setiap masa putar sehari semalam tiga kali, berhasil menjual sepuluh lembar
Lima perak sehari, bukan main.
 Kaya raya jika hemat dan pandai mengelola
Sayang banyak dihabiskan untuk memuaskan hasrat remaja
Hanya sekali mewujud dalam benda berharga : sebuah motor “Norton“
Hasil nyalo karcis film “Ben-Hur” yang termashur
dibintangi Charlton Heston

 Film kolosal  yang menyedot ribuan penonton
 Seminggu terus-terusan antrian bagaikan ular memanjang
Dari pintu bioskop di timur, berjejal ke arah pelataran masjid agung.”
Jumlah penonton “Ben-Hur”  mengungguli “Gone With the Wind
 yang dibintangi Clark Gable dan Vivien Leigh”
Atau “Lawrence of Arabia”
 yang pemainnya semua laki-laki semua
Seperti Peter O’Tolle, Anthony Quinn, Omar Sharif
Juga “The Ten Commandements
 yang dibintangi Charlton Heston, Yul Binner, Anne Bexter.” 
 Tapi menjelang pertengahan 1960-an, dunia usaha bioskop mulai suram
Film-film Barat dilarang.
Hanya film-film “Nefos” – New Emerging Forces –yang boleh masuk.
 Membuat hidup terpuruk.
 Penoton merasa bosan
Disuguhi film-film India, Cina, Jepang

Sejak masa itu, Mang Sudinta pulang ke desa. Mendapat jodoh di hari tua.
Ia kurang tahu lagi bioskop dan film berikut segala romantikanya
Walaupun film-film Hollywood telah kembali
Diramaikan koboy Spagheti Itali
Ketika diajak bicara soal Lee van Cleef, Guillano Gema
Ia cuma menjawab ala kadarnya
“Kaki dan kepala Emang sudah berada di mushola,”ia terbata-bata
Suhadma telah merambah jalan khusnul khotimah.
 Sehari lima kali mengumandangkan adzan dan iqomah
 Mengajak orang shalat dan lain-lain ibadah

Dan pada suatu subuh, tepat usia tujuh puluh
Suhadma tidak bangkit dari sujud. Lalu terkapar di atas sajadah
Raga jasadnya sudah menjadi jenazah

Pada  saat pemakaman, aku berjongkok di pusaranya. Mengajak bicara :
“Suhadma, engkau pulang ke haribaan Tuhan dengan cara istimewa
  Aku kini sering pulang pergi Jakarta-Jeddah-Mekkah-Madinah”
  Entah di mana akan mati
  Mungkin di Masjid Haram atau Masjid Nabawi
  Mungkin di tempat sampah antah berantah
  Engkau telah ikut membukakan jalan bagiku menempuh kehidupan
  Sejak engkau menyapaku “kamu wartawan”
 Hingga orang menyebutku wartawan kawakan”

  Suhadma, yang telah berada di alam baka
 Menjadi tempatku berkaca.


***

Puisi ini dimuat dalam Buku Puisi Film - 25 Puisi, 25 Penyair, 25 Tahun Festival Film Bandung (FFB, 2012)

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post