Marwah Mata Air - Cinyusu dan Tradisi Nyangku di Desa Panjalu




Tradisi nyangku di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat

Situ Lengkong Panjalu, berhulu pada cinyusu (mata air).  Marwah mata air yang memancarkan keindahan alam di Situ Lengkong Panjalu. Pohon-pohon rindang nan sejuk,  kelelawar  beterbangan di atas Nusa Gede, menjadi nyawa bagi keberlangsungan suatu kebudayaan yang telah diwariskan oleh para leluhur Panjalu.

Situ Lengkong Panjalu, sebuah danau yang akan mengantarkan kita menuju pulau bernama Nusa Gede atau Nusa Larang. Tempat dimana pada zaman dulu, Sanghyang Prabu Boros Ngora mendirikan keraton negeri dengan pertahanan kuat: marwah air untuk memagari keraton Panjalu.

Air di Situ Lengkong ini pun menjadi salahsatu air yang digunakan untuk mencuci pusaka peninggalan leluhur Panjalu.

Air situ lengkong inilah yang akan dicampurkan dengan berbagai mata air atau cinyusu di Panjalu dan sekitarnya. Air inilah yang kemudian menjadi pendukung utama dalam tradisi nyangku di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa  Barat.

Inti dari upacara nyangku adalah mencuci pusaka peninggalan leluhur Panjalu. Maka yang harus pertama kali disiapkan tiada lain adalah air untuk mencucinya.

Pada 6 September 2020 yang lalu, bertepatan dengan 18 Muharam 1442 Hijriyah, panitia pelaksana nyangku sudah memulai mengambil air dari Hutan Karantenan atau puncak Gunung Sawal. Para sesepuh, para muda-mudi warga Panjalu dan sekitarnya berbondong-bondong menuju cinyusu di puncak Gunung Sawal.

Panjalu menuju nyangku di masa pandemik korona. Dengan dimulainya pengambilan air dari puncak gunung sawal, seolah mengisyaratkan bahwa tradisi nyangku tetap akan dilaksanakan.

Nyangku yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu digelar, selalu menjadi pusat perhatian masarakat di seluruh penjuru bumi. Antusias warga Panjalu dan sekitarnya dalam menyambut nyangku, menjadi sebuah tradisi yang membumi dan terjaga senantiasa.

Nyangku yang menghadirkan warna-warni budaya Panjalu. Pentas seni pencak silat, seni debus, seni gembyung, seni longser wayang,  dan lain sebagainya.

Tradisi Nyangku di Panjalu sangat terikat dengan kondisi alam. . Air untuk mencuci pusaka Panjalu pada hari Nyangku bukanlah sembarang air yang bisa diambil di mana saja secara sembarangan. Namun air yang digunakan adalah air yang bermarwah.
Maka merawat keberadaan cinyusu di Panjalu dan sekitarnya merupakan suatu keniscayaan. Konsep hutan larangan, hutan tutupan, hutang keramat atau apapun namanya harus tetap menjadi pagar dari tangan-tangan jahil perusak alam.

Tradisi nyangku adalah untuk mengenang dan menghormati, lebih jauhnya meneladani perbuatan terpuji para leuhur Panjalu dalam menebar ajaran kebenaran.

Falsafah ”Mangan karana halal, paké karana suci, ucap lampah sabeneré” memiliki nilai universal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun, tak akan bertentangan pula dengan sikap kemanusiaan di dunia manapun.

Masyarakat Panjalu selalu menunggu nyangku. Sikap antusias adalah pertanda kepedulian, kebanggaan dan kecintaan terhadap suatu budaya yang bernilai luhur.

Bersama-sama, seia sekata, bahu-membahu untuk nyangku. Hingga bukan hanya kondisi alam yang terjaga, tapi ada yang lebih tinggi dari itu semua: persaudaraan dan kekeluargaan yang terjaga senantiasa.


#ceritabudayadesaku
#budayasaya
#budayamaju

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post