Carita Banyol: Cigorowek-Cimendong



Carita Banyol, Serial "Bintang Cigorowek"

DHIPA GALUH PURBA

SEBAGAI seorang penulis amatir yang kepingin jadi profesional, kawanku sangat rajin mengirim email. Hampir satu jam sekali, beliau mengabarkan perkembangan terakhir di kampungku; Cigorowék tercinta --terutama yang berhubungan dengan kriminalitas. Tentu saja ditambah pula dengan kabar-kabur dari Cimendong, yang berkenaan dengan Néng Arin.

Kubaca email terbarunya. Ia menceritakan tragedi yang menimpa Aki Ukro sekeluarga. Malam kemarin, katanya, rumah Aki Ukro disatroni maling. Begitu santainya maling itu, karena Aki Ukro dan Nini Éméh --beserta anak cucunya-- sedang tidur nyenyak.

Menurut hasil penyelidikan Hansip Baron, para maling berjumlah empat orang. Mereka (para maling), sempat makan malam dulu, main kartu remi, dan nonton La Liga antara Barcelona melawan Real Madrid, bahkan dari tanda-tanda di meja, kemungkinan besar para maling itu sempat taruhan.

Adapun barang yang disikatnya hanyalah televisi berwarna 20 inch. Itu pun tidak diambil semuanya, karena –mungkin—merasa kasihan kepada Aki Ukro. Televisi berwarna 20 inch tersebut, hanya diambil 18 inch. Jadi sampai sekarang, Aki Ukro masih memiliki Televisi 2 inch, sisa para maling. “Lumayan, daripada kagak punya,” begitu kata Aki Ukro, ketika diwawancara oleh kawannya tetangga kawanku.

Tetapi yang lebih mengherankan lagi, kasus maling yang menimpa Bah Dinta, dukun ternama di Cigorowek.  Kabarnya Hansip Baron pun sempat dirawat di rumah praktek Mantri Cahyo, karena stress. Pasalnya para maling yang menggerayangi rumah Bah Dinta tidak mengambil barang apa-apa. Para maling hanya ngoprék dan mengutak-atik televisi Bah Dinta hampir sepanjang malam.

Dan ketika keesokan harinya Bah Dinta mau nonton Tivi, tiba-tiba gambarnya jadi terbalik. Kasihan sekali, sampai hari ini Bah Dinta sekeluarga harus nonton tivi sambil nungging, atau dalam posisi kepala di bawah, kaki di atas.

*

EMAIL terakhir dari kawanku mengabarkan bahwa dia sendiri yang ketiban sial, harus kehilangan motor barunya yang baru saja satu kali bayar cicilan. Memang salahnya sendiri, terlalu malam pulang apel dari Néng Arin, bintang Ciméndong. Padahal seharusnya kawanku langsung pulang saja, karena Néng Arin tidak ada di rumah.

Katanya sih sedang nonton longser ke Pulogebang sama mantannya. Tapi dasar kawanku, udah jelas situasinya seperti itu, malah PDKT sama neneknya, mencari dukungan. Kawanku beranggapan, bahwa orang teraniaya itu pasti akan banyak dukungannya. Tapi sayang sekali, jangankan dapat dukungan, malah dapat buntungan… éh, maksudku: daripada untung, malah buntung.

Ketika kawanku sedang dalam perjalanan pulang, di tengah jalan dicegat oleh seorang perempuan. Cantik katanya. (Ya jelas, namanya perempuan pasti cantik. Kalau lelaki, baru tampan). Sebut saja namanya Néng Cici. Menurut kawanku, Néng Cici mau numpang sampai ke ‘perempatan tiga’ Cimendong-Pasanggrahan-Cigorowék. Karuan saja kawanku sangat bersedia. Apalagi Néng Cici duduknya begitu merapat, sehingga sampai sekarang pun punggung kawanku agak kentob dua tempat yang bersebelahan.

“Stoop… stooop dulu…!” tiba-tiba Néng Cici berteriak, tepat di depan pintu makam, tanjakan Cimendong.

“Ada apa?” begitu tanya kawanku, sambil menginjak rem. Motor berhenti.

“Aku ketinggalan dompet,” kata Néng Cici. Kedua tangannya merogoh semua saku baju dan celana jeans-nya.

“Ya sudah, ayo kita balik lagi,” kawanku memang cerdas. Kalau memang ketinggalan, tinggal balik lagi, lalu diambil. Beres kan.

“Bapakku suka marah, kalau aku bareng sama cowok,”

“Terus gimana?”

“Bagaimana kalau kupinjam dulu motornya sebentar. Akang nunggu di sini sebentar,” Néng Cici mulai menebar ilmu-nya. Sebenarnya modus operandi seperti ini sudah sangat klasik dan mudah ditebak. Namun karena kawanku terlalu cerdas, beliau tidak menaruh curiga apa-apa.

Dalam pemikirannya: kalau memang bapaknya tak suka melihat Néng Cici bawa laki-laki, solusinya tinggal suruh sendirian aja, biar dirinya nunggu saja. Beres kan.

Ketika Néng Cici sudah men-start motor kawanku, bahkan sudah maju beberapa meter, tiba-tiba kawanku berteriak memanggil Néng Cici. Karuan Néng Cici kaget, wajahnya pun tampak pucat pasi. Néng Cici mengira kalau kawanku sudah bisa menduga niat jahatnya. Kendati demikian, Néng Cici berusaha untuk tetap tenang.

“Kamu pasti kedinginan. Nih… paké  jakét-ku, biar tidak masuk angin…” begitu kata kawanku sambil melepaskan jaketnya, seraya memberikan kepada Néng Cici. Tentu saja Néng Cici bernafas lega. Setelah mengucapkan terimakasih, Néng Cici segera menarik gas motor, lalu meninggalkan kawanku, dan tidak pernah kembali lagi.

Dalam beberapa hal, kawanku memang cerdas. Namun jika beliau sudah dihadapkan dengan sesuatu hal yang berbau perempuan, maka kecerdasannya bisa berpindah pada lawannya. Betapa tidak, jaket yang diberikan kepada Néng Cici itu berisi uang, surat cinta kepada Néng Arin, rokok sebungkus plus zippo, dan  isim pelet sakti pemberian Bah Dinta.***





0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post