Mencari Cahaya di Nagara Salju

Acara Nyiar Lumar di Astanagede, Kawali, Ciamis, Jawa Barat


Oleh DHIPA GALUH PURBA

HAMPIR setiap pengunjung acara Nyiar Lumar, tidak lupa memuji para pedagang yang beroperasi di sekitar Astana Gede, Kawali, Ciamis (13/05). Pasalnya, para pedagang tidak menggunakan jurus “aji mungpung” dalam melayani ratusan tamu yang terbilang sangat langka tersebut.

Mereka memasang tarif normal dalam menjual makanan dan minuman yang tersedia di warungnya. Bahkan beberapa orang pengujung mengatakan bahwa  harga makanan dan minuman, lebih murah dibandingkan dengan warung-warung di tempat tinggalnya.

Sebut saja blok Goropak, Dusun Indrayasa. Di sanalah letak pintu Astana Gede, yang pada malam purnama lalu, kebanjiran pengunjung dari berbagai kota. Keramah-tamahan penduduk Goropak, telah mewarnai peristiwa penting dua tahunan.

Sayang sekali, warga Goropak tidak sempat memperkenalkan makanan khasnya, karena acara Nyiar Lumar berlangsung malam hari. Padahal, seandainya digelar pada siang hari, maka para pengunjung Nyiar Lumar akan berkenalan dengan cendol Goropak.

Di antara penduduk Goropak, banyak yang pekerjaan sehari-harinya berjualan cendol. Maka dari itulah, blok Goropak dikenal sebagai “nagara salju”. Sepertinya dihubungkan dengan cendol yang begitu mesra berbaur dengan es.

Pemandangan yang terjadi di malam purnama tersebut, seolah merupakan refleksi dari harapan Prabu Niskala Wastukencana yang tersurat dalam prasasti Kawali. Tidak sia-sia adik kandung Citraresmi Diah Pitaloka yang bergelar Prabu Resiguru Dewatabuana Tunggalbuana, mengayomi kerajaan Sunda Galuh selama 104 tahun.

Ada jejak yang bisa ditelusuri oleh anak-cucu Sunda, dalam rangka Nyiar Lumar. Dalam hal ini, sepertinyua Nyiar Lumar hanya sebuah simbol, yang intinya adalah mencari cahaya. Menapaki jejak nenek moyang adi luhung.

Mari kita hayati bunyi prasasti kawali 1, yang ditulis pada batu andesit berbentuk segi empat tidak beraturan, tersimpan melintang dari arah utara ke selatan: nihan tapak wa-/ lar nu siya mulia tapa (k) i/ na parbu raja wastu/ manadeg di kuta kawa/ li nu mahayu na kadatuan/ surawisesa nu marigi sa/ kulilin dayoh nu najur salaka/ desa aya nu pa (n) dori pakena/ gawe rahayu pakon hobol ja/ ya di buana.

Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih: Inilah tanda be/ kas beliau yang mulia/ prabu raja wastu/ yang memerintah di kota kawa/ li yang memperindah keraton/ surawisesa, yang membuat parit/ sekeliling ibu kota yang memakmurkan seluruh/ desa semoga ada penerus yang melaksanakan/ berbuat kebajikan agar lama jaya di buana.

Maka, rupanya para penduduk di sekitar Astana Gede sudah memahami akan pentingnya berbuat kebaikan, untuk mencapai kejayaan di dunia.

Saya juga teringat pada isi Prasasti Kawali II, yang tersurat pada batu yang menyerupai sandaran arca, berbentuk segi lima tidak beraturan, tingginya 115 cm, lebar bawah 70 cm, lebar atas 74 cm, dan tebalnya 4,5 cm (saya tidak bisa mengukur beratnya).

Prasasti ini merupakan pesan dan harapan, yang ditujukan kepada para pemimpin. Aya ma/ nu nosi i/ gya kawali i/ ni pakena ke/ rta bener/ pakon na (n) jor/ na juritan. Kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih: Semoga ada/ yang menghuni/ dayeuh kawali i/ ni yang melaksanakan ke/ makmuran dan keadilan/ agar unggul dalam perang.

Perang di jaman ini  adalah bagaimana caranya memerangi kebudayaan yang tidak sesuai dengan kepribadian Sunda, perang ekonomi, dan perang melawan hawa nafsu, demi keakmuran masyarakat.

Ada empat prasasti lainnya yang dinikmati para pengunjung Nyiar Lumar. Di antaranya Prasasti Kawali III, yang biasa disebut batu tapak. Memang pada batu persegi lima tidak beraturan tersebut, terdapat telapak kaki dan tangan. Ada juga yang mengatakan tanda-tanda tersebut terdiri dari sepanjang kaki dan telapak tangan kiri.

Menurut cerita, batu tersebut merupakan tempat Prabu Wastukancana melakukan tafakur di bawah bimbingan Bunisora Suradipati. Kemudian Prasasti Kawali IV, sebuah batu yang berdiri tegak, yang tingginya 120 cm, menancap ke dalam tanah. Pada batu tersebut tertulis: Sang hyang Lingga Hiyang.

Pada Prasasti Kawali V, terdiri dari batu menhir yang berdiri tegak, dengan tinggi 120 cm. Di sana tertulis: Sanghyang lingga bingba. Dan Prasasti Kawali VI merupakan sebuah batu berbentuk segi empat tidak berarturan, panjangnya 72 cm, dan tingginya 62 cm.

Pada batu ini tertulis: Ini perti (n)/ gal nu atis-/ ti rasa ayama nu/ nosi dayoh iwo/ ulah batengga bisi/ kakereh. Kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih: ini pening/ galan dari orang/ berilmu/ semoga ada yang/ menghuni kota ini/ jangan banyak tingkah/ bisa celaka.

Alhamdulillah, sepanjang acara Nyiar Lumar, tampaknya tidak ada orang yang banyak tingkah, sehingga sampai acara berakhir di Cikawali, secara umum acara Nyiar Lumar bisa berjalan dengan mulus rahayu berkah salamet.

Masyarakat Goropak, Lapajang, Indrayasa, dan sekitarnya, tampak antusias menyambut acara tersebut. Setidaknya, mereka telah memperlihatkan keramah-tamahannya kepada para pengunjung.

Banyak pengunjung Nyiar Lumar, yang tidak lupa memuji kecantikan mojang-mojang Ciamis. Selain cantik, ditambah lagi amis budi. Itulah anak cucunya kerabat Citraresmi Diah Pitaloka. Putri kerajaan Sunda yang keayuannya menandingi bidadari, dan membuat Raja Majapahit mabuk kepayang.

Sebagai lelaki, Gajahmada pun sepertinya menginginkan Citraresmi Diah Pitaloka. Maka dari itu, ia tidak rela kalau Pitaloka jatuh dalam pelukan lelaki lain, tanpa terkecuali Prabu Hayam Wuruk.***


Kawali, 2006

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post