FOKUS: Dongeng Si Rusuh

tradisi meuleum harupat (foto: wisatabdg.com) 


Oleh DHIPA GALUH PURBA

SI Rusuh namanya. Sosok manusia yang sepanjang hidupnya selalu membuat keonaran, kekacauan dan kerusuhan. Dimanapun dan kapanpun Si Rusuh muncul, pasti bakal menimbulkan berbagai masalah, dari yang terkecil sampai terbesar.

Si Rusuh merajalela dan membabi-buta dengan ganas bin semena-mena. Tidak ada yang mampu menandinginya. Namun, tiba-tiba turunlah sosok manusia sakti dari langit yang menghadang Si Rusuh di pintu gerbang kampung Cigorowek. Manusia sakti mengalahkan Si Rusuh hanya dengan sekali pukulan.

Saya mendengar dongeng tersebut dari kakek, ketika saya baru duduk di bangku kelas III Sekolah Dasar (SD). Hampir setiap kali kakek menyuguhkan cerita Si Rusuh. Padahal, sejak kecil saya tidak berbakat menjadi perusuh.

Kalau setiap malam Minggu harus bermain kucing-kucingan dengan hansip, bukanlah karena saya melakukan kerusuhan, melainkan sekedar kasus norobos menjebol pintu belakang bioskop THR (Tempat Hiburan Rakyat) Panjalu. Saya tidak akan norobos seandainya punya uang Rp 350,- untuk membeli karcis.

Suatu kali saya tertangkap basah saat sedang norobos pintu samping THR. Hansip menggiring saya melewati pintu masuk, disaksikan orang-orang yang sedang mengantri untuk membeli karcis. Sungguh sangat memalukan! Sebab, di antara orang-orang tersebut, salahsatunya gadis Dusun Pabuaran yang beberapa malam selalu hadir dalam mimpi.

Sesampainya di rumah, lagi-lagi kakek mendongeng Si Rusuh. Dongeng Si Rusuh agak mirip dengan kisah Dajjal. Jangan-jangan kakek mengadaptasinya. Karakteristik Si Rusuh hampir sama dengan Si Dajjal.

Lantas, mengapa kakek memilih nama “Si Rusuh”? 
Dalam bahasa Sunda, “rusuh” adalah kata dasar dari “rurusuhan” atau “gurunggusuh” yang artinya tergesa-gesa. Orang yang tergesa-gesa tidak melanggar hukum. Namun akibat dari tergesa-gesa, terkadang bisa membuatnya berurusan dengan hukum.

Sebagai contoh, jika mengemudi kendaran dengan tergesa-gesa, bisa-bisa malah menabrak orang atau tabrakan dengan kendaraan lain. Jika tergesa-gesa menyatakan cinta kepada seorang lawan jenis, kemungkinan akan ditolak, dan tentu menyakitkan hati.

Tergesa-gesa mengambil keputusan akibatnya akan fatal. Bahkan, dari sinilah biasanya pangkal terjadi berbagai kerusuhan. Mari kita perhatikan kerusuhan pada saat penggusuran pedagang kaki lima, kerusuhan eksekusi tanah dan bangunan, kerusuhan dalam Pilkada, kerusuhan dalam pertandingan olahraga, kerusuhan pagelaran kesenian, kerusuhan pada saat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sampai pada kerusuhan di ruangan sidang yang terhormat wakil rakyat.

Jika dicermati, pemicunya tiada lain akibat dari pengambilan keputusan yang tergesa-gesa dan gegabah.

Orang yang suka tergesa-gesa, ada baiknya mencoba merenungi peribahasa Sunda yang berbunyi leuleus jeujeur liat tali atau landung kandungan laer aisan.

Dua peribahasa tersebut artinya adalah orang yang suka mempertimbangkan segala akibat sebelum bertindak, adil, sabar, serta tidak mudah mengambil keputusan yang gegabah. Tidak tergesa-gesa tentu tidak sinonim dengan lamban.

Kerusuhan pada saat penggusuran tidak harus terjadi, jika berusaha untuk landung kandungan laer aisan; penggusur tidak berbuat semena-mena dan tetap memperlakukan si tergusur sebagai manusia.

Kerusuhan dalam pertandingan olah raga tidak harus terjadi, jika semuanya landung kandungan laer aisan, seraya mengerti bahwa kalah, menang atau imbang merupakan hal yang lumrah dalam suatu pertandingan.

Rurusuhan akan semakin berbahaya jika dikolaburasikan dengan getas harupateun, babasan Sunda yang artinya mudah marah dan mudah menyalahkan orang lain. Setiap orang punya hak untuk marah bahkan pada saat-saat tertentu, marah itu sangat penting.

Namun, bukan berarti harus menjadi seorang yang pemarah. Tidak baik jika setiap saat selalu marah, kecuali Marah Rusli. Sebab seorang pemarah biasanya cepae tua lho, kata ponakan yang berumur lima tahun.

“Marah-marah itu bisa membatalkan puasa…” sambung ponakan yang berumur tujuh tahun. Si pemarah dijamin tidak akan disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Tanpa harus dikomando, orang-orang akan menghindari si pemarah.

Semua orang tua yang normal, tentu tidak menginginkan anak-anaknya menjadi pemarah. Oleh karena itulah dalam pernikahan orang Sunda, ada tradisi membakar harupat (bagian dari ijuk yang ukurannya besar).

Tentu bukan untuk menyembah harupat. Membakar harupat merupakan simbol dari pemberangusan getas harupateun. Maka dari itu, segeralah menikah agar tidak menjadi pemarah.  Bahkan tidak ada salahnya kalau mencoba membakar harupat dalam peristiwa lain.

Misalnya membakar harupat sebelum melangsungkan pertandingan olahraga, pertunjukan kesenian, penggusuran, atau sebelum sidang DPR/MPR. Mungkin kerusuhan tidak akan terjadi, jika semua orang bisa membakar harupat.

Semoga tidak ada kerusuhan di bulan Ramadhan, dan bulan-bulan selanjutnya.***

Dimuat di rubrik Fokus HU. Pikiran Rakyat, pada 24 September 2006

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post