Menguak Upacara Adat Nyangku di Panjalu



Catatan  Dhipa Galuh Purba
(2002)

"Mangan Karana Halal, Pake Karana Suci, Ucap Lampah Sabenere."

Begitu melekatnya falsapah Panjalu, yang terucap dari Sanghyang Boros Ngora itu. Sebagian besar masyarakat Panjalu pasti tak akan merasa asing lagi dengan kalimat yang mengandung makna tersebut.

Bahkan masih ada kalimat selanjutnya yang sampai saat ini masih diingat oleh para sesepuh dan re-generasi Panjalu. Seperti 'Uriwah, Urinyah, Matanyah, Baganyah'. Demikian besarnya penghargaan para putra Panjalu terhadap leluhurnya.

Sehingga sampai saat ini pemeliharaan pusaka peninggalan kerajaan Panjalu, masih tetap dilaksanakan dengan upacara adat yang sangat ritual. Sebut saja Upacara Nyangku, yang biasanya dilaksanakan setiap satu tahun sekali pada bulan Mulud. Tepatnya hari Senin atau hari Kamis pada minggu yang terakhir. Seperti yang terakhir baru saja dilaksanakan pada hari Senin, 10 Juni 2002 yang lalu.

Upacara Nyangku bagi masyarakat Panjalu merupakan sebuah acara yang sangat dinanti-nantikan. Bahkan bisa jadi merupakan 'lebaran-nya' orang Panjalu. Jika hari raya Lebaran ada yang tidak sempat mudik, maka sebagai penggantinya adalah hari Nyangku.

Para putra Panjalu yang merantau di berbagai pelosok kota, pada hari itu banyak yang sengaja menyempatkan waktu untuk mudik. Tidak usah terlalu heran jika setiap hari Nyangku, kota Panjalu yang jaraknya 41 KM sebelah utara Ciamis ini, akan menjadi lautan manusia.

Belum lagi ditambah dengan para tamu yang sengaja datang ke Panjalu, untuk turut menyaksikan upacara tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Situ Lengkong Panjalu termasuk salah satu tujuan wiasata budaya. Biasanya rombongan para peziarah yang datang ke Panjalu itu, sudah merupakan satu paket perjalanan setelah berziarah ke Gunungjati, Cirebon, Banten, dan Pamijahan, Tasikmalaya atau sebaliknya.

Sesuai dengan namanya, Nyangku berasal dari bahasa Arab 'Yanko', yang artinya adalah membersihkan/menyucikan. Lebih jelasnya bahwa pada hari itu, seluruh barang pusaka peninggalan leluhur Panjalu akan dibersihkan dengan tujuh mata air yang diambil tujuh tempat yang mengandung sejarah, yakni Karantenan, Gunung Bitung, Citatah, Kubang Kelong, Cibatu Agung, Giyut Tengger dan Situ L‚ngkong.

Diantara pusaka yang dibersihkan itu adalah Pedang, Cis, Kujang, Keris Komando, Keris peninggalan para Bupati Panjalu, Pancaworo, Bangreng, Gong Kecil, dan seluruh pusaka lainnya yang dimiliki oleh masyarakat Panjalu.

Konon pusaka peninggalan leluhur Panjalu itu diantaranya adalah pemberian Sayidina Ali, pada saat Sanghyang Boros Ngora menuntut ilmu di Mekah. Semua pusaka itu disimpan di sebuah tempat yang lebih dikenal dengan nama 'Pasucian
Bumi Alit'.

Upacara Nyangku dilaksanakan dalam momen peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW. Sebagai tanda bahwa tidak ada tujuan untuk mengkultuskan atau menyekutukan Alloh SWT. Membersihkan pusaka tidak berarti menyembah pusaka tersebut.

Tetapi salah satu cara untuk merawat serta memelihara peninggalan leluhur Panjalu yang sangat berharga. Menurut RH. Atong Cakradinata, seorang sesepuh Panjalu yang banyak mengetahui tentang sejarah Panjalu, masyarakat Panjalu lebih ditekankan untuk menggali makna dari Nyangku tersebut.

Dalam arti kata, bahwa membersihkan Pusaka Panjalu adalah sebuah simbol untuk membersihkan hati sanubari, agar terlepas dari sifat iri dengki dan berbagai ketamakan lainnya yang kadang kala  merasuk dalam jiwa manusia.

RH. Atong juga mengingatkan bahwa Sanghyang Boros Ngora pernah meninggalkan sebuah pesan "Sing saha anak incu katurunan kaula, isuk jaganing geto mengpar tina ajaran kaula, mangka hirupna moal jamuga." (Barang siapa anak cucu keturunanku, besok atau di masa yang akan datang keluar dari ajaranku, maka hidupnya tidak akan selamat." 

Begitulah yang diucapkan Sanghyang Boros Ngora. Sedangkan ajaran yang dimaksudkannya itu tiada lain adalah 'Al-Islam'. Maka dari itu upacara Nyangku pun selalu dilaksanakan bersama peringatan maulud Nabi Muhammad SAW.

Tentang segelintir orang yang suka membasuh muka atau meminum air (bekas) membersihkan pusaka, itu masih dianggap wajar sepanjang tidak melenceng dari ajaran Islam. Memang menurut sebagian masyarakat Panjalu, jika membasuh muka dengan air tersebut, maka InsyaAlloh akan mudah untuk mencari jodoh, kelancaran pekerjaan, dan sebagainya.

Cerita Tentang Panjalu
Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa terdapat berbagai macam versi tentang sejarah Panjalu. Sehingga tidak usah heran jika menimbulkan pro dan kontra diantara berbagai kalangan, baik itu ahli sejarah, para sesepuh  Panjalu sampai kepada KH. Abdurachman Wahid. 

Seperti tentang tokoh Sanghyang Prabu Boros Ngora sendiri, ternyata ada pula yang masih beranggapan bahwa pemilik nama itu adalah Prabu Buni Sora Suradipati. Mungkin juga hal ini dikarenakan kemiripan nama. Padahal tentu saja sangat berbeda. Sebab Prabu Buni Sora Suradipati hidup pada abad ke-13, tatkala zaman kerajaan Sunda Galuh. Sedangkan Prabu Boros Ngora sempat berguru kepada Sayyidina Ali RA yang hidup pada abad ke-6.

Belum lagi kalau memperhatikan pernyataan KH Abdurachman Wahid (Gus Dur) yang diliput oleh Jawa Pos, bahwa nama asli dari Embah Panjalu adalah Sayyit Ali Bin Muhammad Bin Umar yang hidup pada massa kerajaan Padjadjaran ketika dipimpin oleh Prabu Siliwangi.

Bahkan pada acara haol di Panjalu, Gus Dur mengaku salah satu keturunan Panjalu. Buktinya memang sebelum Gus Dur menjadi Presiden RI, sering melaksanakan zarah ke Nusa Gede, sebuah pulau kecil berukuran 19, 25 hektar yang terletak di tengah Situ Lengkong. Menurut Gus Dur, di sanalah tempat disemayamkannya Embah Panjalu tersebut.

Tentu saja hal itu sangat bertentangan dengan sejarah Panjalau yang berkembang di masyarakat Panjalu sendiri. Bahkan hal itu pula yang menjadi salah satu pokok pada acara upacara Nyangku tahun 2002.

Sehari sebelum upacara Nyangku, diadakan sebuah seminar yang membahas tentang sejarah Panjalu. RH. Atong Cakradinata menegaskan bahwa tidak ada versi lain tentang sejarah Panjalu. Sanghyang Prabu Boros Ngora benar-benar telah bertemu dan berguru kepada Sayidina Ali. Bukan pertemuan secara hakikat, tetapi pertemuan secara nyata.

Dan yang dimakamkan di Nusa Gede itu adalah Dipati Hariang Kancana, putra kedua Sanghyang Boros Ngora, yang mewarisi tahta kerajaan Panjalu setelah sebelumnya dijabat oleh kakak kandungnya sendiri, Dipati Hariang Kuning. Bahkan kepemimpinan Kerajaan Panjalu pun diwariskan lagi kepada generasai selanjutnya.

Seperti yang tercatat pernah menjadi raja Panjalu itu adalah Dipati Hariang Kuluk Kukunang T‚ko, Dipati Hariang Kanjut Kadali Kancana, Dipati Hariang Martabaya, Dipati Hariang Kunang Natabaya, Aria Sumalah, Aria Secanata (Aria salingsingan), Dalem Aria Wirabaya, Dalem Wirapraja, Rad‚n cakranagara II, dan Rad‚n Cakranagara III. Dan sekitar taun 1819, Rad‚n Cakranagara III turun  dari jabatannya. Sekaligus mengakhiri cerita tentang kerajaan Panjalu. Sebab setelah itu, tak ada lagi yang melanjutkannya, dikarenakan Panjalu dirubah menjadi distrik kewadanaan kabupaten Galuh.


Di Mana Sanghyang Boros Ngora Disemayamkan?
Mungkin tak sedikit yang bertanya-tanya mengenai hal ini. Mengapa Sanghyang Boros Ngora tidak disemayamkan di Nusa Gede atau tempat-tempat bersejarah lainnya di Panjalu?

Seperti yang diceritakan oleh RH. Atong Cakradinata, bahwa Sanghyang Boros Ngora selanjutnya mengembara ke daerah Jampang Manggung. Namun lagi-lagi Sanghyang Boros Ngora meninggalkan pesan, yang sekaligus merupakan jawaban bagi yang menanyakan hal ini.

"Upama isuk jaganing geto aya nu hayang jarah ka kaula, mangka teu kudu neangan pajaratan kaula. Cukup nenjo titinggalan kaula..." (Kalau besok atau di masa yang akan datang ada yang mau jarah ke tempatku, maka tidak usah mencari pemakamanku. Cukup melihat segala macam peninggalanku...). 

Begitulah ceritanya. Sehingga samapai saat ini pun tak ada yang tahu, di mana sebenarnya makam Sanghyang Prabu Boros Ngora itu.

Jika menyaksikan peninggalannya, sudah tidak usah diragukan lagi. Berbagai macam pusaka yang tersimpan di bumi alit sampai kepada sebuah situ lengkong yang penuh dengan nuansa keindahan. Situ Lengkong yang luasnya kurang lebih 57, 95 h‚ktar itu, merupakan saksi tentang perjalanan Sanghyang Boros Ngora.

Dalam ceritanya disebutkan bahwa air yang terdapat di Situ Lengkong itu berasal dari air zam-zam pemberian Sayidina Ali. Dalamnya kurang lebih 4 sampai 6 meter, atau 731 M di atas permukaan laut. Dikelilingi oleh perkampungan Cukang Padung, Dukuh, Banjar Waru, Simpar, Sriwinangun, dsb.

Bagaimanapun juga, sebagian besar masyarakat Panjalu begitu yakin dan percaya tentang kisah Sanghyang Boros Ngora.  Bagaimana dengan versi-versi cerita Panjalu lainnya? Yang pasti sejarah tentang Panjalu itu kemungkinan besar akan lebih banyak diketahui oleh anak cucu keturunannya.***

Panjalu, 2002

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post