Oleh DHIPA GALUH PURBA
SITUS Astana Gede, Kawali, Ciamis pada malam purnama lalu (13/05) kebanjiran pengunjung yang ingin mengikuti dan menyaksikan acara Nyiar Lumar. Sayang sekali, suasana yang penuh kekeluargaan tersebut, mungkin tidak akan ditemui lagi pada dua tahun yang akan datang. Kabarnya, Nyiar Lumar yang kelima kalinya itu merupakan kegiatan terakhir.
Mengapa Nyiar Lumar harus dihentikan? Apakah lumar-nya sudah ditemukan? Tidak, karena menurut hemat saya, lumar yang dimaksudkan pada acara tersebut bukanlah sebatas jamur yang bercahaya di malam hari.
Lumar merupakan simbol akan pentingnya mengenali atau menapaki jejak nenek moyang dan mencari cahaya. Nyiar Lumar semestinya ditingkatkan kuantitas waktunya menjadi acara tahunan. Sebab, kita harus selalu mencari cahaya, sepanjang nafas merasuk sukma.
Bagaimanapun Nyiar Lumar yang dirintis oleh penyair Godi Suwarna dan kawan-kawan telah menjadi tradisi masyarakat Kawali, yang merupakan kolaburasi antara seniman dan masyarakat. Inilah pesta rakyat yang penting untuk dilanjutkan, bahkan dikembangkan agar lebih menarik.
Tak ubahnya dengan Ngaruat Jagat di Situraja, Sumedang, atau acara Nyangku di Panjalu, Ciamis. Nyiar Lumar juga merupakan acara pangeling-eling kepada raja-raja wangi yang menjadi papayung agung Sunda Galuh.
Pada booklet acara Nyiar Lumar, tertera kutipan prasasti: nihan tapak wa-/ lar nu siya mulia tapa (k) i/ na parbu raja wastu/ manadeg di kuta kawa/ li nu mahayu na kadatuan/ surawisesa nu marigi sa/ kulilin dayoh nu najur salaka/ desa aya nu pa (n) dori pakena/ gawe rahayu pakon hobol ja/ ya di buana.
Prasasti yang asli ditulis pada batu andesit berbentuk segi empat tidak beraturan, tersimpan melintang dari arah utara ke selatan. Saya yakin, kutipan prasasti pada booklet acara Nyiar Lumar, bukan sekedar hiasan tanpa makna.
Jika bunyi prasasti tersebut terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya: Inilah tanda be/ kas beliau yang mulia/ prabu raja wastu/ yang memerintah di kota kawa/ li yang memperindah keraton/ surawisesa, yang membuat parit/ sekeliling ibu kota yang memakmurkan seluruh/ desa semoga ada penerus yang melaksanakan/ berbuat kebajikan agar lama jaya di buana.
Jelas, suatu pesan dan harapan leluhur Sunda yang begitu mulia. Menggelar acara Nyiar Lumar bisa menjadi salah satu pangeling-eling akan cita-cita mulia raja Sunda. Ataukan kita akan melupakannya?
Masyarakat Kawali dan pengunjung dari berbagai daerah berduyun-duyun seraya berkumpul di pendopo kecamatan Kawali; helaran menyusuri keindahan alam Kawali di bawah benderang bulan purnama. Ini bukan sekedar aleut-aleutan tanpa makna, melainkan sebuah upaya menapaki jejak leluhur Sunda.
Begitu banyak makna yang bisa dipetik dari perjalanan napak tilas tersebut. Nyiar Lumar akan semakin menyatu dengan masyarakat Kawali, kebanggaan masyarakat Kawali. Lambat laun, orang Kawali yang merantau ke luar Kawali, akan mempunyai jadwal mudik sebanyak dua kali: pada hari raya Idul Fitri dan pada acara Nyiar Lumar.
Pemerintah Kabupaten Ciamis juga kudu mempertahankan keberlangsungan acara Nyiar Lumar. Mari kita meresapi bunyi prasasti lainnya: Aya ma/ nu nosi i/ gya kawali i/ ni pakena ke/ rta bener/ pakon na (n) jor/ na juritan.
Prasasti tersebut tersurat pada sebuah batu yang menyerupai sandaran arca, berbentuk segi lima tidak beraturan, tingginya 115 cm, lebar bawah 70 cm, lebar atas 74 cm, dan tebalnya 4,5 cm (saya tidak bisa mengukur beratnya).
Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya: Semoga ada/ yang menghuni/ dayeuh kawali i/ ni yang melaksanakan ke/ makmuran dan keadilan/ agar unggul dalam perang.
Dalam hal ini, pemerintah Kabupaten Ciamis tidak usah memikirkan bagaimana perang melawan Gajahmada, tetapi mengupayakan serta berjuang memerangi kebudayaan yang tidak sesuai dengan kepribadian Sunda, perang ekonomi, dan perang melawan hawa nafsu, demi kemakmuran masyarakat.
Banyak peserta atau pengunjung Nyiar Lumar menitikkan air mata ketika menyaksikan pertunjukan teater yang mengisahkan tragedi Palagan Bubat. Ini adalah sejarah! bukan dongeng cengeng dari Citameng.
Prabu Hayam Wuruk melamar Citraresmi, untuk dipersunting menjadi permaisuri. Tidal lama kemudian, Prabu Hayam Wuruk mengundang Prabu Maharaja Linggabuana untuk datang ke Majapahit.
Undangan tersebut diartikan Prabu Maharaja sebagai isarat perkawinan putrinya dengan Hayam Wuruk. Maka, berangkatlah Prabu Maharaja dari Kawali, disertai rombongan kerajaan Sunda Galuh menuju Majapahit. Prabu Maharaja membawa Citraresmi, karena bertujuan untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Jadi, prajurit yang mengantar keluarga kerajaan, bukanlah pasukan perang.
Setibanya di Bubat, rombongan Sunda Galuh dihadang oleh pasukan perang Majapahit pimpinan Patih Gajah Mada. Sungguh mengagetkan, ketika Gajah Mada meminta Prabu Maha Raja untuk menyerahkan Citraresmi Diah Pitaloka sebagai upeti dari negeri Sunda, dan sebagai pertanda takluknya kerajaan Sunda. Prabu Maharaja lebih memilih perang, daripada harga diri harus terinjak Majapahit. Palagan tidak bisa dihindari; Perang campuh antara prajurit pengantar jatukrami melawan pasukan perang Maja Pahit.
Prabu Maha Raja Lingga Buana, Prameswari Dewi Laralisning, Citraresmi Diah Pitaloka, beserta prajurit Sunda, gugur di tanah Bubat. Semuanya telah gugur sebagai pahlawan Sunda, pembela kehormatan Sunda.
Putri Citraresmi merupakan bunga wangi dari Kawali, yang lebih memilih rarabi jeung pati daripada harus mengorbankan harga diri putri Sunda menjadi upeti. Tragedi Bubat tersebut terjadi pada haris Selasa, 13 Paropeteng, bulan Bhadrawada, tahun 1278 Saka (4 September 1357 Masehi).
Banyak pengunjung Nyiar Lumar dari luar Ciamis yang tidak lupa memuji kecantikan mojang-mojang Ciamis. Selain cantik, ditambah amis budi. Itulah anak cucunya kerabat Citraresmi Diah Pitaloka.
Putri kerajaan Sunda yang keayuannya menandingi bidadari, dan membuat Raja Majapahit mabuk kepayang. Sebagai lelaki normal, Gajahmada pun sebenarnya menginginkan Citraresmi Diah Pitaloka. Maka dari itu, ia tidak rela kalau Pitaloka jatuh dalam pelukan lelaki lain, tanpa terkecuali Prabu Hayam Wuruk.
Mengenang kisah masa lalu, bukanlah untuk ngusik-ngusik ula mandi, ngahudangkeun macan turu. Tidak untuk membangkitkan luka lama, apalagi menebar kebencian dan dendam. Justru kita akan segera merenungi sikap Prabu Niskala Wastukancana pasca Palagan Bubat.
Beliau adalah adik kandung Citraresmi Diah Pitaloka yang bergelar Prabu Resiguru Dewatabuana Tunggalbuana, pewaris tahta Sunda Galuh. Selama 104 tahun memimpin kerajaan Sunda Galuh, Prabu Niskala Wastukancana tidak pernah berniat untuk membalas dendam (1371-1475).
Dengan adanya acara Nyiar Lumar, kita bisa mengenang dan memaknai peristiwa bersejarah tersebut; hanya meluangkan waktu satu malam dari setiap jangka waktu dua tahun. Sekali lagi, sungguh sangat disayangkan kalau Nyiar Lumar benar-benar akan pudar. Ada masalah apakah gerangan?
Seandainya ada persoalan internal di antara sebagian seniman Ciamis, ada baiknya untuk segera mencari jalan keluarnya, tanpa harus mengorbankan sebuah kegiatan yang sudah dirintis sejak tahun 1998.
Seniman tidak boleh memikirkan diri sendiri, serta melepaskan berbagai kepentingan, baik politik, ekonomi, dan sebagainya. Perlu juga ada semacam auto kritik, karena kegiatan Nyiar Lumar mustahil terselenggara tanpa ada kerja sama yang solid di antara seniman dan masyarakat, juga aparat setempat.
Selain itu, perlu juga ada perbaikan manajemen, agar Nyiar Lumar bisa tetap berlangsung dari generasi ke generasi. Tidak harus selalu terpaku pada seorang individu atau sekelompok orang saja. Selagi masih banyak waktu, saya yakin rencana untuk menghentikan Nyiar Lumar, masih bisa dipertimbangkan kembali.
Nyiar lumar sudah menjadi tradisi. Memelihara tradisi, janganlah setengah hati. Sayang, kalau hanya lima kali.***
Dimuat di rubrik Wacana HU. Pikiran Rakyat, pada 20 Mei 2006
Komentar