Siliwangi dalam Filsafat Maung





(60 Tahun Siliwangi: 20 Mei 1946-20 Mei 2006)

Oleh ERWAN JUHARA

Ihwal
            KONON,  dalam mitos sejarah Sunda, Raja Sunda Pajajaran yang paling terkenal, Prabu Siliwangi, mengakhiri masa kejayaan kerajaan Pajajaran dengan “tapadrawa”(tapa hingga akhir hayat). Sejak kejadian itu, kerajaan Pajajaran ikut menghilang sebagaimana hilangnya Prabu Siliwangi yang “tapadrawa” di hutan “brihadara”(hutan belantara) sehingga lahirlah istilah Prabu Siliwangi dan kerajaan Pajajaran “nga-hyang”(menghilang).

           Dalam arti sebenarnya, “tapadrawa” yang dilakukan Prabu Siliwangi jadi “hyang” yang berarti jadi “pandeta atau mandeta”, bukan berarti “menghilang”.  Namun, sebelum Prabu Siliwangi “nga-hyang”, Prabu Siliwangi yang dianggap salah seorang manusia istimewa di kaumnya, meninggalkan pesan yang disebut dalam istilah “wangsit”; yang kemudian dikenal sebagai “Wangsit Siliwangi”. Wangsit ini kemudian berusaha ditafsirkan dalam berbagai aspek kehidupan nyata karena isinya sangat padat dengan filsafat hidup, yakni “lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung”.

Wangsit Siliwangi itulah yang menjadi salah satu kepercayaan banyak orang bahwa Prabu Siliwangi bermetamorfosis(manjana) menjadi maung(macan) setelah “tapadrawa”(tanpa hingga akhir hayat) di “brihadara”(hutan belantara). 

Padahal, alangkah sayangnya memang kalau manusia yang paling mulia diciptakan Tuhan harus bermetamorfosis(manjana) menjadi makhluk liar seperti maung. Jelas, dalam Islam hal ini sangat jauh korelasinya; begitu pun dalam kehidupan zaman Prabu Siliwangi saat itu yang beranggapan bahwa manusia yang mampu manunggal dengan kehidupan dan Tuhannya hanyalah manusia yang mampu mengatasi hawa nafsu yang tidak pernah terpuaskan di alam dunia ini.

Oleh karena itu, sangatlah bertolak belakang kalau telah terjadi metamorfosis(manjana) Prabu Siliwangi yang dikenal  bijaksana dan penuh kasih sayang dalam memimpin rakyatnya, harus mengakhiri hidupnya dengan menjadi maung. 

Jadi, mitos metamorfosis ini memang perlu penelitian lebih teliti dalam ilmu sejarah, kebudayaan, sosiologis, arkeologis, antropologis, bahkan filologisnya secara valid berdasarkan data dan fakta yang didapat dari para ahlinya. Namun, sekali lagi mitos ternyata telah berjalan sebagai folklor di masyarakat umum dan telah dipercaya menjadi konvensi tak tertulis yang kadang mencampuradukan antara sejarah(syajaratun) dengan dongeng(folk tale) sebagai bagian dari karya sastra, termasuk perihal “Wangsit Siliwangi” yang penuh dengan “siloka” dan filsafat hidup.

Artinya, jika kita mengaji lebih dalam perihal kehidupan masyarakat Jawa Barat yang notabene dominan etnis Sunda di masa berikutnya dan kehadiran pasukan Divisi  Siliwangsi sebagai elemen kehidupan manusia yang memiliki keistimewaan dalam beberapa hal yang tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lainnya, maka hal itu mungkin terjadi oleh pengaruh mitos Prabu Siliwangi dan kerajaan Pajajaran; atau karena Wangsit Siliwangi dipercaya telah memberi nuansa penting dalam kehidupan orang Sunda dan tentara Siliwangi? Inilah persoalan menarik yang masih memerlukan penelitian dan pemikiran lebih panjang dari masyarakat dan tentara Siliwangi di Jawa Barat.


Pasukan Siliwangi: Sebuah Fakta Sejarah

            Terlepas dari perlunya penelitian dan pemikiran lebih lanjut perihal Prabu Siliwangi dengan kerajaan Pajajaran serta Wangsit Siliwanginya, dalam kehidupan selanjutnya di Jawa Barat kemudian lahir segolongan masyarakat yang memiliki keistimewaan tertentu dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. 

Segolongan masyarakat tersebut adalah tentara KODAM III Siliwangi yang berisi kumpulan manusia yang memiliki semangat jihad dan semangat juang tinggi membela  tanah air selain dirinya, memiliki rasa berkorban, dan  kemampuan memainkan strategi perang militer yang  baik daripada masyarakat lainnya.

            Kehadiran tentara Siliwangi yang berisi orang-orang istimewa tersebut, kurang begitu jelas alasannya, kenapa harus mengidentifikasikan nama pasukannya dalam sebutan “Siliwangi” dengan lambang pasukan maung yang sedang menggeram; apakah karena ingin mendapat berkah seperti nama besar Raja Sunda  Pajajaran, Prabu Siliwangi ataukah karena ingin melaksanakan “Wangsit Siliwangi”.

            Tentara Siliwangi yang secara Sapta Marga dan Sumpah Prajurit-nya berfungsi sebagai alat pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik budaya bangsa Indonesia, tetap menjadi harapan sebagai stabilisator dan dinamisator masyarakat serta pengawal, pengaman, pengamal ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945. 

Artinya, secara tidak langsung tentara Siliwangi adalah Abdi Abadi Ampera Bangsa Indonesia.  Berdasarkan alasan tersebut, tentara Siliwangi yang bermarkas di Jawa Barat memang tidak bisa lepas begitu saja keberadaannya dan saling mendukung dengan rakyat Jawa Barat dalam perannya sebagai Abdi Abadi Ampera Bangsa Indonesia.


Filsafat Maung  Siliwangi
            Divisi Siliwangi, sejak resmi berdiri, 20 Mei 1946 di Tasikmalaya, ternyata  kiprahnya telah demikian banyak dan sudah terasa sebagai Abdi Abadi Ampera. Namun, dalam perkembangannya dari waktu ke waktu tersebut, Siliwangi bukan berarti tidak pernah mengalami berbagai kendala dan masalah. 

Justru sebaliknya, dalam perkembangan era reformasi saat ini, peran Siliwangi makin berat dengan berbagai tantangan yang dihadapi secara ipoleksosbudhankam, baik yang datang dari dalam/intern masyarakat sekitar, maupun  dari luar/ekstern masyarakat dunia pada umumnya.

            Peran Siliwangi saat ini menjadi semakin rentan karena bukan hanya berhadapan dengan masalah politik dan militer, tetapi yang lebih berat adalah berhadapan dengan masalah sosial budaya, dimana kerapkali tentara Siliwangi harus berhadapan dengan masyarakat dan keluarganya sendiri. 

Konflik-konflik  di masyarakat yang bermuara pada keadilan dan kemakmuran itu, tentu saja harus menjadi catatan khusus Siliwangi dalam upaya mengukuhkan keberadaannya sebagai Abdi Abadi Ampera bersama masyarakat karena jika konflik-konflik  intern, khusunya di Jawa Barat berhasil teratasi, dampaknya akan membawa citra positif bagi tentara Siliwangi dan masyarakat Jabar umumnya yang sedang terlibat dalam konteks perubahan sosial(social change) di dunia yang tidak selalu kongruen(sama dan sebangun) dengan tingkat kemajuan sosial masyarakat.

            Tentara Siliwangi juga harus mengantisipasi proses perubahan sosial di masyarakatnya karena bersamaan dengan proses perubahan sosial itu, niscaya pula terjadi perubahan persepsi tentang nilai dan norma yang mengatur perilaku manusia sebagai perseorangan atau warga suatu kolektivitas(semacam tentara).

            Persoalan dalam hubungan itu, bukan hanya keadaan anomi(keadaan pudarnya norma-norma sebagai pedoman perilaku), tetapi akan muncul gejala heteronomi(berlakunya beberapa norma sebagai pedoman perilaku). Pada situasi heteronomi sosial tersebut, akan muncullah kelompok-kelompok masyarakat yang bisa menjadi penentu pola dan kecenderungan perilaku(pattern and trendsetter) yang selanjutnya bisa mengristalkan pedoman perilaku yang kompromistik sepenuhnya.

            Tentara Siliwangi yang merupakan kelompok masyarakat istimewa karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan masyarakat sipil, bisa menjadi salah satu pattern and trendsetter tersebut selain pemerintah dan kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan lainnya dalam mengantisipasi berbagai konflik di masyarakat. 

Selain itu, tentu saja  tata krama dan disiplin dalam bentuk social exposure, harus juga menjadi pemikiran dan harapan terus tentara Siliwangi yang bisa menjadi kelompok panutan karena sampai  batas-batas tertentu, sekali lagi Siliwangi bisa digolongkan sebagai kelompok yang relatif priviliged dalam masyarakat atau sesuai dengan ungkapan noblise oblige. Selain terjun langsung sebagai gerakan militer, tentunya bisa dilakukan dengan suatu proses yang lebih manunggal dengan rakyat seperti melalui efek pendidikan tertentu dalam pertemuan sosial dan ketertiban sosial(social encounters and social engagements).

            Pada konteks seperti itulah tentara Siliwangi membutuhkan sugesti  kultural yang akan makin memperkokoh posisinya sebagai kelompok priviliged(kelompok berkepribadian istimewa) yang berkemungkinan menjadi pattern and trendsetter(panutan dan suri teladan) bagi masyarakatnya. 

Di masyarakat Jawa Barat, sugesti kultural itu bisa didapat salah satunya dari  filsafat dalam folklor masyarakat Jawa Barat. Nilai kultur historis masyarakat Sunda yang kuat dengan mitologi kerajaan Pajajaran dan Raja mashurnya, Prabu Siliwangi yang dimitoskan bermetamorfosis(manjana) menjadi maung, kemudian meninggalkan Wangsit Siliwangi sebelum ‘nga-hyang” untuk  “tapadrawa” di  “brihadara”,  menjadikan tentara Siliwangi  mendapat sugesti kultural berupa Filsafat Positif  Maung Siliwangi.

            Filsafat Positif  Maung Siliwangi  sangat bermanfaat bagi masyarakat dan tentara Siliwangi menghadapi kehidupan masa kini karena maknanya yang sangat relevan dengan situasi zaman yang terus berubah hingga saat ini, antara lain:

1.      Sagalak-galak ning maung tara ngahakan anakna(Sejahat-jahatnya macan tidak pernah memakan anaknya sendiri); yang berarti manusia dilarang merugikan masyarakat/bangsanya.
2.      Lir maung teunangan(Bagai macan melenggang); yang berarti manusia harus mampu melahirkan sikap luwes dan diplomatis dalam menghadapi segala masalah.
3.      Sima aing sima maung(Wibawaku wibawa macan);  yang berarti manusia harus mampu melahirkan kharisma yang terjangkau dari bias-bias aura nurani yang dekat dengan kepribadiannnya.
4.      Maung lugay(Macan beranjak/bangkit);  yang berarti manusia harus waspada atas fenomena-fenomena yang bakal  merugikan masyarakat/bangsa.
5.      Ditekuk maung(Disergap macan); yang berarti manusia diwajibkan mencari nafkah dengan kerja keras dan keringat sendiri.
6.      Moro mangsa hirup salilana ulin maung(Mencari jalan hidup selamanya menyerupai macan); yang berarti manusia harus memberi kesempatan berlangsungnya suatu kompetisi kehidupan yang sehat di segala bidang
7.      Hate aing hate maung(Hatiku hati macan);  yang berarti manusia harus berani menjalani kehidupan dan berbagai kesulitannya.
8.      Maung teu sihungan(Macan tak bertaring); yang berarti manusia harus mawas diri ke jati dirinya sebagai manusia dan masyarakat biasa.
9.      Maung turun gunung(Macan turun tahta); yang berarti  manusia harus sadar kapan harus berhenti dan kapan posisinya harus diregenerasikan.
10.  Lir maung luncat(Seperti macan melompat); yang berarti manusia  harus tahu kapan bekerja dan bergerak yang tepat menjalani kehidupan.
11.  Sihung aing sihung maung(Taringku taring macan); yang berarti manusia harus berani, pantang mundur membela kebenaran.
12.  Lir maung ngalageday(Seperti macan mengeliat): yang berarti manusia harus sabar dan tidak pandang bulu  berhubungan dengan siapa pun.
13.  Maung moro mencek(Macan berburu kancil); yang berarti manusia harus fokus pada masalah utama yang sedang dihadapi untuk kepentingan bersama.
14.  Maung parebut parab(Macan berebut makanan); yang berarti manusia harus adil dan tenggang rasa berbagi rezeki.
15.  Lir kokod  maung(Seperti  kuku macan);  yang berarti manusia  tidak boleh berdiam diri kalau terdesak/harus melawan mempertahankan hak milik asli.
16.  Kakoet maung(Tergores kuku macan);  yang berarti  manusia harus lincah membawa diri di mana pun adanya.
17.  Jiga parawan di sayang maung(Seperti gadis di sarang macan);  yang berarti manusia harus berpikir dengan beberapa cara untuk menyelesaikan masalah.
18.  Lir maung padundung(Seperti macan berkelahi);  yang berarti  manusia jangan malu untuk memperlihatkan kemampuannya bila diperlukan menolong sesama atau bangsanya.
19.  Lir maung edan(Seperti macan gila): yang berarti  manusia  berani tampil habis-habisan untuk membela harga diri dan nama baik dalam suatu perkara.
20.  Lir maung karuhun(Seperti  macan leluhur); yang berarti manusia harus menghargai peran para leluhur(perintis dan senior) kehidupan yang berjasa bagi kita semua di dunia ini.

Karomah
Demikianlah  filsafat positif maung yang saya tuliskan sesuai nilai historis tanggal kelahiran Siliwangi sebanyak 20 Filsafat Positif Maung Siliwangi yang paling penting untuk dimaknai dan diaplikasikan dalam gerak serta langkah tentara Siliwangi di masa depan. Tentu saja masih banyak filsafat maung yang belum saya tuliskan di sini karena keterbatasan lahan tulisan.

Namun,  sekali lagi yang terpenting adalah tentara Siliwangi yang mau tidak mau terikat dengan mitos historis masyarakatnya dan telah menunjukkan peran sertanya bagi kehidupan masyarakat Jabar-Banten dan bangsa Indonesia pada umumnya. 

Siliwangi yang walaupun lekat dengan aroma mitos, klenik, konvensi, dan realitas sosial yang terus berubah dari waktu ke waktu, lewat aplikasi sugesti kultural Filsafat Positif  Maung Siliwangi, di era global ini harus mampu menjadi pattern and trendsetter(contoh panutan dan pengolah tingkah laku) yang sesuai dengan karakter masyarakat Jabar-Banten dan bangsa Indonesia. Semoga Siliwangi tetap “mengaum”(dengan suara membahana) di seantero Tatar Sunda Jabar-Banten dan Jamrud Khatulistiwa Indonesia. Wilujeng hurip jatining diri. Siliwangi niti wanci. Nyilirkeun wawangi ati tur diri,  pikeun nyorang  pinasti……

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post