Di Ujung Pandangan - Cerita Pendek TS. Asikin




Di Ujung Pandangan

Oleh TS. ASIKIN

ANGIN yang menerpa tubuh ini masih sedingin tujuhbelas tahun yang lalu. Belaiannya masih sesyahdu dulu, dan hembusan nan sejuk membuat aku terlena dalam buaiannya.

Walau kini aku datang membawa hati yang terluka, menghambur ke pelukanmu dengan kepedihan yang tiada terperi. Tapi engkau tetap ramah menyambutku.

Kusangka engkau dulu adalah kota yang berkabut. Yang selalu memberi warna kelam dan menyelimuti dengan kelabu.

Tapi aku salah. Aku telah pergi dengan kebencianku. Aku pergi meninggalkan Panjalu, kota tempat dimana aku lahir dan dibesarkan, karena aku merasakan kau yang juga lahir di kota ini telah mengecewakanku.

Kau menghancurkan segala rasa cinta dan kasihku. Sehingga segala yang menjadi cita dan harapanku telah kukubur dalam-dalam di luasnya Situ Lengkong Panjalu.

Aku pergi dengan berurai air mata. Kini akupun kembali dengan tetesan air mata pula. Tuhan... ampunilah hamba-Mu yang tidak pernah mensyukuri nikmat yang Engkau berikan.

Memang semua yang terjadi adalah karena kebodohanku. Ya Alloh, aku mohon, diusiaku yang mendekati senja ini, tuntunlah aku ke jalan yang penuh dengan rido-Mu. Aku terima dengan hati yang lapang semua yang terjadi adalah suratan nasib.

 “Bu, mau masuk ke Nusagede? Kebetulan lagi banyak yang berziarah...” suara pendayung perahu membuyarkan lamunanku.

Aku melihat ke pintu masuk Nusa Gedé, tempat beberapa motor but dan perahu menepi, menurunkan para penumpangnya.

Walaupun aku penduduk asli di sini, tapi aku belum pernah masuk atau berziarah ke makam keramat itu. Mungkin ini saat yang tepat untuk ikut bertawasul dengan orang lain yang sengaja datang dari jauh. Aku menoleh ke pendayung perahu sambil menganggukan kepala.

Baru kali ini aku berjalan dengan gontai di antara langkah-langkah orang lain yang penuh semangat. Aku merasa sendiri di tengah kerumunan orang banyak.

Air mata tak berhenti bercucuran. Aku tak peduli kalau ada orang yang menatapku dengan heran. Kudekap erat si kecil yang sejak tadi tertidur dengan nyenyak.

Terdengar suara dzikir yang menggema di ruangan pemakaman menambah luluhnya hatiku. Aku seorang hamba-Mu yang merasa selama ini jarang menyebut nama-Mu dan disaat datangnya musibah yang aku rasa sangat berat baru aku mengingat-Mu. Ya Alloh, sesungguhnya aku ini termasuk orang yang merugi.

Si kecil menggeliat bangun. Dia mengejapkan matanya sambil menatapku, lalu tersenyum. Isma, buah hatiku yang keempat.

Buah cintaku yang baru empat bulan  lahir ke dunia ini, sudah harus menerima kenyataan pahit. Kang Sukma, suami yang aku cintai. Padanya aku percaya sepenuhnya selama ini.

Dia kurang memperhatikanku karena kesibukannya di kantor. Tapi selembar kertas yang aku temukan di antara kertas kerjanya telah menghempaskan jauh ke dasar kepedihan.

Antara percaya dan tidak. Tapi ini kenyataan, ini bukan mimpi. Di sana terrulis “Andai suamiku tidak beristri, mungkin aku tidak kesepian di sini. Mungkin dia akan selamanya berada di sisiku.”

Ya Allah, itu adalah tulisan wanita lain untuk suamiku, tertanggal  3 Maret 2003.

Aku sedih, kecewa, terluka, merana. Rasanya lebih sakit dibanding ketika aku harus menerima kenyataan keluarga Kang Dani tidak menyetujui hubungan kasihku yang membuat aku lari meninggalkan Panjalu, tujuhbelas tahun yang lalu. Berlari jauh ke seberang lautan. Kota nun jauh disana, Ujungpandang.

Dua tahun kemudian aku menerima uluran tangan Kang Sukma untuk menjadikan diriku ratu dalam rumah tangga. Suka duka telah kami lalui bersama.

Telah 15 tahun membina rumahtangga. Tak disangka, disaat aku hamil oleh putra keempat, dia telah mengambil wanita lain untuk mendampinginya. Disaat aku bergelimang darah melahirkan putrinya, dia sedang terlena berbulan madu.

 “Adakah hal lain yang lebih menyakitkan dari peristiwa yang kualami ini? Apalagi saat Kang Sukma mempertemukan aku dengannya.

Yani, seorang wanita yang telah menjanda selama enam tahun, dengan bangga memperlihatkan perutnya yang tengah hamil lima bulan.

Tanpa merasa berdosa sedikitpun mengaku telah menikah seminggu setelah aku melahirkan. Dan Yani mengetahui Kang Sukma telah mempunyai seorang istri yang tengah hamil.

Kalau saja aku tidak melihat tatapan péenuh harap dari anakku, saat itu aku lebih baik mati. Untuk anak-anakku yang tercinta, aku tetap berusaha tegar.

Semoga Alloh memberikan umur panjang, menganugerahkan keselamatan dan kesehatan agar aku bisa mendidik dan membesarkan anak, walaupun hanya sendiri. Karena aku tidak mau lagi mengingat seorang lelaki yang begitu tega melepas nurani. Hanya untuk menolong seorang janda kesepian, rela melukai hatiku dan anakku.

Ah, matahari masih bersinar memayungi bumi.***


Panjalu, 29 Mei 2003 

Dimuat di H.U. Galamedia, Agustus 2007

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post