Ema Alit, Istri Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar Wafat

 

Dari kiri: Ema Alit, Abah Ugi, dan Teten Masduki


SUKABUMI, Panjalu.Net- Berita yang cukup mengejutkan datang dari Kasepuhan Adat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat. Ema Alit, istri Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi Bin Encup Sucipta, wafat pada hari Jumat, 16 Juli 2021, pukul 19.30 WIB.

Cukup mengejutkan, karena pada siang harinya, Ema Alit masih mengikuti tradisi “nganyaran” di Kasepuhan Ciptagelar. Demikian sebagaimana disampaikan Dalang Opik, Ketika dihubungi melalui pesan WhatsApp oleh Panjalu.Net.

“Poé tadi (Jum’at), ngaréngsékeun heula nganyaran Ema téh… Babakti panungtung ka carogé,” demikian kata Dalang Opik.

Nganyaran adalah salahsatu rangkaian dari proses penanaman padi di Kasepuhan Ciptagelar. Ada 5 tahap proses penanaman padi hingga panen di Kasepuhan Ciptagelar. Diantaranya: Ngaseuk, Mipit, Nganyaran, Ponggokan, dan Seren Taun.

 Ngaseuk adalah tradisi  proses Penanaman padi di huma (lahan kering) dengan menggunakan aseuk (tongkat berujung lancip) untuk melubangi tanah sebagai tempat padi ditanam, yang dipimpin oleh Abah dan Emak. Kemudian dilanjutkan menanam padi di pesawahan (lahan basah).

Mipit artinya Panen padi,  yang dalam prosesi memetik padi di kasepuhan Ciptagelar ini terdiri dari tiga tahap keadatan yang dijalani yakni:  Prosesi MABAY, yakni prosesi menandai padi yang akan dipetik dengan cara mengikatkan daun padinya, yang biasanya dilaksanakan di waktu sore hari menjelang matahari tenggelam di lahan Huma dan pesawahan. Kemudian dilanjutkan dengan  Prosesi MIPIT, yang dilaksanakan di waktu pagi hari sebelum matahari meninggi, yaitu  memetik padi yang telah ditandai pada waktu Mabay, dipotong dengan menggunakan Etem (ani-ani/ Ketam). Lalu  Proses DIBUAT, yaitu panen padi. Padi diikat dan di gantung di tempat penyimpanan sementara yang disebut dengan Lantayan.

Nganyaran. Inilah prosesi yang dimaksudkan Dalang Opik, sebagai prosesi terakhir yang dihadiri Ema Ciptagelar. Nganyaran adalah  mencicipi hasil panen dari padi yang ditanam. Makan nasi pertama kali dari beras anyar (baru), yang diawali oleh Kasepuhan dalam hal ini Abah dan Emak di pusat Kasepuhan.

Ponggokan atau Serah Ponggokan dan serentaun  akan dibahas pada tulisan berikutnya.

Kasepuhan Adat Ciptagelar terletak di suku Gunung Halimun,   merupakan batas tiga Kabupatén, Sukabumi, Bogor, dan Lebak (Banten). Sacara administratif, masuk ke wilayah Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Untuk mencapai Ciptagelar, harus melintasi jalan tanah dan bebatuan, dengan tanjakan terjal dan turunan curam, sekitar 40 Km dari Pelabuhan Ratu.

Masarakat Ciptagelar disebut-sebut sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan, yang masih merupakan keturunan Prabu Siliwangi. Pancer artinya asal-usul, sedangkan pangawinan berasal dari kata ngawin, yang menurut Kusnaka Adimihardja, erat kaitannya dengan “bareusan pangawinan”, barisan tombak, atau pasukan khusus Kerajaan Sunda yang bersenjatakan tombak.

Kalau dikaitkan dengan  cerita “Ruhak Pajajaran”, yang ditulis Rahmatulloh Ading Affandi (RAF), tampak ada benang merahnya. Di dalam “Ruhak Padjadjaran” diceritakan  perjuangan Putri Purnama Sari, setelah Pajajaran dihancurkan pasukan kerajaan Banten. Prajurit  Banten yang dipimpin Imam Sultan Yusuf merebut kota Pakuan, pusat kerajaan Pajajaran. Awalnya Prabu Siliwangi bertekad untuk menghadapi prajurit Banten sampai pada titik darah penghabisan. Namun, Rakéan Kalang Sunda memohon agar Prabu Siliwangi meninggalkan Pakuan Pajajaran. Dialog dalam naskah “Ruhak Pajajaran” adalah sebagai berikut:

“Samangsa aya awalna, pasti pinanggih jeung ahir. Lamun aya mimitina, tungtungna pasti kapanggih. Kawas ayeuna buktina, geus kitu takdir Déwa Gung riwayat Pajajaran, mangsa tamatna kiwari. Tékad kaula rék tandang anggeus-anggeusan!” begitu ucap Prabu Siliwangi.

“Nyanggakeun laksa duduka, kacindekan abdi-abdi kénging nimbang matang pisan. Gusti mugi ngantun nagri.”  Rakéan Kalang Sunda memohon agar Prabu Siliwangi meninggalkan Pakuan Pajajaran. Akhirnya Prabu Siliwangi meninggalkan Pakuan, menuju ke arah selatan, dengan dilindungi oleh putri bungsunya,   Putri Purnama Sari. Saat itu  putri menjadi kepala juru kawal karaton (huhulu puragabaya), didampingi  suaminya, Senapati Kumbang Bagus Sétra, yang saat itu dikenal sebagai Senapati utama Pajajaran.

Dalam perjuangannya melindungi Prabu Siliwangi, Kumbang Bagus Sétra gugur. Sedangkan Rakéan Kalang Sunda ngahiang.  Putri Purnamasari terpisah dari pasukan utama. Ia memegang Kujang Pusaka Pajajaran.

Selanjutnya Putri Purnama Sari menuju ke sebuah tempat bernama Cidadap, yang terletak tidak jauh dari Pelabuhan Ratu.  Disana Putri Putri Purnama Sari melahirkan seorang anak  yang diberi nama Mayang Sagara, sesuai dengan amanat suaminya sebelum gugur di medan perang.  .

Dalam perjalanan selanjutnya, Putri Purnama Sari beserta masyarakat Cidadap pernah terlibat pertempuran dengan bajak laut yang dibantu oleh kompeni Belanda. Dalam pertempuran itu, Bajaklaut dan Kompeni gagal mengalahkan pasukan Purnama Sari. Namun,  banyak diantara pasukan Cidadap yang gugur, termasuk hilangnya Mayang Sagara. Tentu saja Putri Purnama Sari sangat bersedih.

“Mun Mayang Sagara ilang, pan inyana nu rék manjang silalatu Pajajaran. Pan Mayang Sagara pisan nu baris jadi pamanjang handaruna Pajajaran. Rék tetep rék ganti ngaran. Ngan handaru Pajajaran ulah ilang kudu manjang.” Demikian ungkapan hati Purnama Sari dalam naskah “Ruhak Pajajaran”.

Kalau dikaitkan dengan legenda Nyai Roro Kidul, hubungannya sangat erat, karena Nyi Roro Kidul pun disebut-sebut memiliki nama lain: Mayang Sagara.

Dalam catatan Pangéran Wangsakerta Cirebon tahun 1677 Maséhi, diceritakan tentang runtuhnya Pajajaran, yakni: Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuplapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala.

Jika diterjemahkan kurang lebih adalah: Pajajaran sirna dari bumi tanggal 11 bagéan caang, bulan wesaka, tahun 1501 Saka. Dengan adanya kisah Putri Purnama Sari yang menetap di Pelabuhan Ratu, memang cukup logis jika masyarakat Ciptagelar pun merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran.

Berdirinya Kasepuhan Adat Ciptagelar pun tidak terlepas dari mitos dan tradisi. Warga  Ciptagelar awalnya menempati Desa Ciptarasa. Kepindahannya ke  lokasi yang sekarang bernama Ciptagelar, merupakan petunjuk gaib atau wangsit yang diterima Abah Anom pada bulan Juli 2001. Maka pada saat itulah, Abah Anom dan barés kolot (pembantu sesepuh girang), melaksanakan  wangsit tersebut.

Masyarakat adat Ciptagelar, menurut Aki Karma,  terdiri dari 82 suhunan (kepala keluarga). Sedangkan jumlah penduduknya lebih dari seribu orang.  Setiap tamu yang berkunjung ke Ciptagelar,  diterima di Imah Gedé. Namun untuk menemui Abah, harus diawali dengan prosesi khusus di karatuan, yang biasanya dibimbing oleh kadaleman (semacam mentri dalam negeri), yang saat ini dijabat oleh Aki Karma.

Kasepuhan Ciptagelar merupakan induk dari 568 kasepuhan adat yang tersebar di wilayah Sukabumi, Bogor, dan Banten. Nama asli pemimpin Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar adalah Ugi Sugriwa Rakasiwi. Ia mulai diangkat menjadi Abah (sebutan untuk pemimpin kasepuhan) pada tahun 2007. Abah Ugi memegang tanggungjawab untuk memimpin  masyarakat adat dengan tetap harus berpegang teguh pada aturan adat yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

 Abah Ugi  menjadi sosok panutan dan suri tauladan. Ciptagelar merupakan kampung adat yang lebih terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap melakukan proteksi yang kokoh untuk menjaga keutuhan alam.

Dalam kesehariannya, masyarakat Ciptagelar selalu bersinergis dengan alam. Apalagi pada umumnya mata pencaharian masyarakat adalah petani. Maka, menjaga keutuhan alam adalah sebuah keniscayaan.

Di dalam masyarakat adat, merusak alam adalah perbuatan yang sangat tabu, bahkan kejahatan yang melanggar  hukum adat.

Dalam kepemimpinan Abah Ugi, ada terobosan yang sukses berkenaan dengan teknologi informasi. Di Ciptagelar telah memiliki stasiun radio dan televisi, yang bisa diakses melalui pesawat televisi dan radio. Selain itu, wifi juga tersedia.

 

Masyarakat Ciptagelar pun tidak perlu khawatir memikirkan  membayar rekening listrik, karena disana terdapat turbin, yang memanfaatkan air untuk pembangkit listrik. Terang benderanglah Kampung Adat Ciptagelar, tanpa harus melibatkan PLN.

Abah senantiasa memikirkan hal-hal yang harus dikerjakan untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga ia menjadi pemimpin kharismatik yang dihormati dan dicintai masyarakat.

Setiap peristiwa penting di tengah masyarakat, misalnya melahirkan, mengawinkan, sunatan, selalu diikuti oleh dibangunnya leuit (lumbung padi). Tidak heran kalau di Ciptagelar terdapat banyak leuit. Ukurannya bervariasi, ada yang 4 x 5 méter, 8 x 10 méter, dan lain-lain. 

Leuit  bisa menampung 500 sampai 1.000 ikat paré gedé. Jika dikonvérsikan satu iket paré gedé sama dengan 5 kg. Jadi, satu leuit  bisa menampung paré gedé  sekitar 2,5 sampai 5 ton.

Di Kasepuhan Ciptagelar, ada satu leuit yang bernama Leuit Si Jimat. Leuit ini hanya dibuka dalam acara upacara adat Sérén Taun sebagai tempat penyimpanan indung paré.

Sementara dalam aturan adat, tidak diperkenankan jual-beli padi, beras, dan segala makanan yang terbuat dari beras. Ini merupakan sistem ketahanan pangan masyarakat adat yang sampai saat ini terpelihara.

Tidak akan ada kelaparan di kampung adat. Kesenjangan sosial pun ditekan sedemikian rupa, sehingga tercipta tatanan kehidupan yang harmonis, mengutamakan gotong-royong, saling tolong-menolong, dan bersama-sama menjaga alam.

Penghormatan masyarakat Ciptagelar terhadap padi, ditandai dengan digelarnya upacara ritual sejak padi mulai ditanam, dipanen, ditumbuk, dimasak, sampai dengan dimakan. Ritual tersebut merupakan ungkapan do’a kepada Yang Maha Kuasa atas rezeki yang diberikan-Nya, dengan tumbuhnya padi sebagai sumber kehidupan.

Ritual tersebut  diantaranya ada yang sisebut upacara adat  ngaseuk, prosesi menanam padi. Ritual Sapang Jadian Paré, seminggu setelah tumbuhnya padi.

Ritual Salametan Paré nyiram, ketika tanaman padi mulai merekah. Ritual Sawenan, Ritual Mipit Paré,  Ritual Nganyaran/ Ngabukti (Upacara ritual ketika padi ditumbuk untuk pertamakalinya),  Ritual Ponggokan (seminggu sebelum Sérén Taun), serta Ritual Sérén Taun, sebagai rasa hormat kepada leluhur dan Dewi Sri.

Acara ritual lainnya di  yang berlangsung di Ciptagelar diantaranya salametan 14 bulan purnama, upacara Nyawén Bulan Safar (memasangkan jimat), salametan Rosulan, Salametan Bébéres (menghindari persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap  peraturan adat), dan sodakoh Maulud dan Rewah (ditandai dengan saling mengirim makanan).

 Pada acara seren taun, Abah berkewajiban melaporkan segala kegiatan yang berlangsung selama satu tahun, termasuk melaporkan aliran uang, kekayaan, dan lain-lain. Itulah LPJ (Laporan Pertanggungjawaban) Abah yang dilakukan setiap tahun.***(Dhipa Galuh Purba)

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post