Setelah tamat Vervolgschool di Ciamis (1928), melanjutkan belajar agama di Ciawi, kemudian ke Pesantrén Cicariang, lalu pindah ke Pesantrén Jambudwipa dan Pesantrén Gentur, ketiganya di Cianjur.
Sesudah itu pindah ke Pesantrén Cireunggas, Sukabumi yang dipimpin oleh Ajengan Acéng Mumu yang terkenal sebagai ahli hikmat dan silat, yang dilanjutkan berguru kepada Haji Junaédi di Pesantrén Citengah, Panjalu. Tahun 1938, ia berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Di sana kecuali mengikuti pengajian-pengajian di Masjidil Haram, rajin pula mengikuti pertemuan muzakarah tasawuf pada majlis Syéh Romli di Jabal Gubaisy yang juga pengikut Tariqat Naqsabandiyyah.
Sesudah itu pindah ke Pesantrén Cireunggas, Sukabumi yang dipimpin oleh Ajengan Acéng Mumu yang terkenal sebagai ahli hikmat dan silat, yang dilanjutkan berguru kepada Haji Junaédi di Pesantrén Citengah, Panjalu. Tahun 1938, ia berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Di sana kecuali mengikuti pengajian-pengajian di Masjidil Haram, rajin pula mengikuti pertemuan muzakarah tasawuf pada majlis Syéh Romli di Jabal Gubaisy yang juga pengikut Tariqat Naqsabandiyyah.
Sepulang dari Tanah Suci, ia aktif mengajar di Pesantrén Suryalaya yang dipimpin oleh ayahnya, Abah Sepuh.
Tahun 1950, ia diangkat sebagai pengganti ayahnya memimpin pesantrén itu, karena ayahnya uzur, kemudian mengungsi ke kota Tasikmalaya. Ia berhasil menyelamatkan pesantrénnya melalui masa-masa yang sulit ketika DI/TII mengacau di Jawa Barat terutama di daerah sekitarnya.
Ia mengerahkan santri-santrinya untuk membantu TNI melawan gerombolan yang mengganggu keamanan. Karena itu ia mendapat berbagai surat penghargaan dari pihak tentara, a.l. dari Kodam Siliwangi.
Selain itu, karena juga berjasa dalam mengerahkan rakyat bercocok tanam, a.l. dalam pembuatan irigasi dan pembangkit tenaga listrik, ia pun mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan PN Pertani.
Pada tahun 1961, didirikanlah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantrén Suryalaya yang diprakarsai oleh salah seorang murid Pesantrén Suryalaya sendiri, ialah Séwaka.
Pada tahun 1961, didirikanlah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantrén Suryalaya yang diprakarsai oleh salah seorang murid Pesantrén Suryalaya sendiri, ialah Séwaka.
Yayasan ini merupakan wadah pembina ikhwan TQN, a.l. dengan mendirikan sekolah-sekolah klasikal seperti SMIP (1963), PGA (1964) yang kemudian diubah menjadi Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah (1977), Diniyah Awwaliyah (1968).
Perguruan Tinggi Da’wah Islam (PTDI) dibuka tahun 1963 tapi hanya bertahan beberapa tahun.
Tahun 1986 didirikan Perguruan Tinggi Latifah Mubarrokiyah yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Latifah Mubarrokiyah (1988).
Tahun 1986 didirikan Perguruan Tinggi Latifah Mubarrokiyah yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Latifah Mubarrokiyah (1988).
Di samping itu, didirikan pula SMA (1975) dan Sekolah Taman Kanak-kanak (1980). Setelah peristiwa G-30-S pada tahun 1965, Pesantrén Suryalaya aktif membina para bekas anggota atau simpatisan PKI dalam ajaran Islam.
Untuk itu pihak pesantrén mendapat pengukuhan dari pihak tentara dan kepolisian Jawa Barat. Pesantrén ini juga menjadi terkenal karena mempunyai Pondok Remaja Inabah yang menerima para remaja pecandu narkotik untuk disembuhkan.
Meskipun pernah diberitakan bahwa ada pasien remaja yang meninggal ketika menjalani upaya penyembuhan, namun konon ada ribuan yang benar-benar sembuh.***
Sumber: Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya termasuk Budaya Cirebon dan Betawi (editor: Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, Jakarta, 2000)
Sumber: Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya termasuk Budaya Cirebon dan Betawi (editor: Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, Jakarta, 2000)
Komentar