Terkait Panjalu, ada yang menarik dalam buku "Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya termasuk Budaya Cirebon dan Betawi" (editor Ajip Rosidi) yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Jakarta, 2000. Yaitu KASIKEPAN, yang menyebutkan bahwa pemilik sawah harus bertempat tinggal di daerah tersebut.
Kenapa saya menulis judul Adat Istiadat di Masa Lalu? Sebab, sekarang kasikepan itu sudah tidak berlaku. Pemilik sawah di Panjalu, banyak yang tidak tinggal di Panjalu, bahkan mungkin saja bukan orang Panjalu (Mudah-mudahan sih masih milik orang Panjalu, meskipun orangnya merantau di kota besar)
Apa itu kasikepan? Apakah ada kaitannya dengan sikep (sikap)? Mari kita baca setiap kata yang ditulis dalam Ensiklopedi Sunda di bawah ini:
Kasikepan disebut juga Kacacahan atau Kanomeran. Istilah hukum adat yang digunakan untuk menyebut tanah komunal yang terdapat di désa-désa Kabupaten Cirebon, Kuningan, Majalengka, dan Ciamis.
Di kabupaten-kabupaten tersebut terdapat sawah-sawah dengan hak milik komunal yang disebut kasikepan (di Kuningan dan Cirebon), kacacahan (di Majalengka), atau sawah désa, kanomeran (di Ciamis).
Menurut susunan pemerintahan pada zaman itu (sebelum kemerdekaan RI), désa mempunyai hak milik komunal atas sawah-sawah tersebut, sedangkan penduduk désa yang mempunyai kasikepan (atau seterusnya) mempunyai hak pakai atas sawah-sawah tersebut.
Orang-orang tersebut oleh Pemerintah di zaman itu dianggap sebagai yang berhak memakai atau berhak atas bagian dari tanah-tanah komunal dan yang oleh rakyat setempat disebut sikep, baku sawah, jalma buku atau wong buku (di Kuningan dan Cirebon), atau cacah (di Majalengka), atau nomer (di Ciamis).
Dalam kepustakaan hukum adat, yang dijadikan istilah umum adalah kasikepan (untuk menyatakan sawah-sawah dengan hak milik komunal) dan sikep (untuk menyatakan orang yang memiliki hak pakai atas sawah komunal itu). Hanya penduduk désa yang dapat dijadikan sikep.
Di désa Panjalu (Kabupaten Ciamis) peraturan adat bahkan menetapkan, bahwa sikep (di situ disebut nomer) harus bertempat tinggal di kampung tempat sawah itu terletak.
Supaya dapat bertindak sebagai sikep, yaitu sebagai orang yang berhak atas kasikepan, maka orang yang bersangkutan harus diangkat atau dikuatkan oleh rapat désa (kumpulan désa), yaitu rapat antara kepala désa (kuwu), pejabat-pejabat désa lainnya (paréntah désa, sasaka désa, pangkat désa) dan para sikep désa, dan seringkali dihadiri oleh penduduk désa yang mempunyai pekarangan atau rumah tetapi tidak mempunyai kasikepan, yang disebut kuren kuat (di Ciamis dan Majalengka) atau tangkong (di Kuningan dan Cirebon).
Sekalipun hak sikep atas kasikepan tersebut dinyatakan sebagai hak pakai, tetapi hak tersebut diwariskan menurut aturan-aturan tertentu. Setiap pengalihan dikuatkan oleh rapat sikep. Bila tidak ada ahli waris atau tidak ada di antara mereka yang mau atau dapat dijadikan sikep, tanah itu dikuasai oleh désa sebagai sawah gantungan, untuk kemudian berdasarkan adat, désa harus memberikannya lagi sebagai kasikepan kepada penduduk désa yang memenuhi syarat sebagai sikep.
Di kabupaten-kabupaten tersebut, syarat untuk diterima sebagai sikep (cacah, nomer), ialah orang yang dapat bekerja (kuat gawé). Bila seorang ahli waris memperoleh kasikepan sedangkan ia belum bisa bekerja (karena masih kanak-kanak) maka ia harus mempunyai wakil yang menjalankan pekerjaan yang berhubungan dengan kasikepan itu; jika tidak, ia kehilangan hak tersebut.
Sepasang suami-isteri tidak boleh mempunyai lebih dari satu kasikepan. Di Desa Panjalu pernah terjadi bahwa seorang nomer kawin dengan wanita yang juga mempunyai kanomeran. Suami-isteri tersebut harus melepaskan salah satu tanahnya.
Tetapi peraturan adat yang menyatakan bahwa orang hanya dapat menjadi sikep dari satu kasikepan, di Sindanglaut dan Ciledug (Kabupaten Cirebon) biasanya dilanggar oleh sikep yang kaya, karena ia dapat mempergunakan kakitangannya untuk membeli kasikepan orang-orang lain dan mendaftarkan tanah-tanah itu atas nama mereka (sebagai sikep).
Di kabupaten-kabupaten tersebut tidak ada keberatan bila seorang sikep di samping mempunyai kasikepan, juga mempunyai sawah Yasa (sawah hak milik). Kenyataan bahwa seseorang telah mempunyai sawah yasa, tidak merupakan halangan untuk ditunjuk sebagai sikep.
Di semua kabupaten tersebut sikep tidak dibolehkan menggadaikan kasikepannya. Ia boleh memindahkan haknya kepada penduduk désa atau orang lain yang akan bertempat tinggal di désa yang bersangkutan, tetapi orang yang memperolehnya harus dikuatkan oleh rapat désa sebelum ia dapat bertindak sebagai sikep tanah tersebut.
Tapi, sikep berwenang menyewakan tanahnya kepada siapa pun. Dalam kepustakaan hukum adat, hak yang dimiliki sikep atas sawah-sawah dengan hak milik komunal (kasikepan, kacacahan, kanomeran) disebut ”hak milik yang terikat”.
Isi dari hak milik yang terikat ialah wewenang untuk bertindak sebagai yang berhak sepenuhnya atas tanah yang bersangkutan, asal menghormati hak ulayat désa dan dengan kewajiban sama terhadap masyarakat seperti hak milik yang tidak terikat (yasa).
Komentar