Artikel: Puasa Kendang, Suatu Kritik Orang Sunda


Catatan DHIPA GALUH PURBA
(Tahun 2007)


PUASA kendang, puasa ayakan

TENTU kendang tidak ikut berpuasa meskipun urang Sunda mengenal istilah “puasa kendang”. Ungkapan tersebut hanya kritikan yang cukup menggelikan, ditujukan bagi orang yang hanya berpuasa pada hari pertama dan terakhir di bulan Ramadhan.

Kendang termasuk waditra kesenian tradisional yang cukup populer di kalangan masyarakat Sunda, terbuat dari bulatan kayu, di dalamnya memiliki rongga dan kedua ujungnya ditutupi kulit.

Tidak ada yang ganjil dari alat musik tersebut, sehingga sindiran “puasa kendang” tidak akan membuat orang naik pitam, meskipun ditujukan kepada orang yang benar-benar hanya berpuasa di hari awal dan akhir Ramadhan.

Dan ia pun kemungkinan besar tidak akan merasa sakit hati apalagi dendam kepada kendang, jika suatu saat menyaksikan pertunjukan kesenian yang mengandung waditra kendang.

Sulit untuk menyimpulkan seseorang sedang berpuasa atau tidak, karena tidak pernah digelar semacam razia pemeriksaan puasa. Yang pasti, ukuran dasarnya adalah makan dan minum, meskipun para ustad sering mengatakan bahwa puasa yang paling mudah adalah sekedar menahan haus dan lapar.

Tapi bagi orang yang belum bisa mengendalikan perut, menahan haus dan lapar pun ternyata tidak mudah. Wajar jika kemudian di tatar Sunda populer istilah “puasa kendang”.

Karuhun Sunda yang menciptakan berbagai ungkapan kritik kepada orang tidak berpuasa, tampaknya sudah sangat paham bahwa pada saat sedang berpuasa dilarang mengumbar amarah dan mencaci-maki.

Maka dari itulah kritikan yang terlontar pun terbilang jenaka. Contoh kritikan lainnya adalah “puasa ayakan” (singkatan dari: saaya-aya dihakan). Ungkapan tersebut ditujukan kepada orang yang mengaku berpuasa, tetapi ia akan memakan apapun yang bisa dimakan. Ini lebih parah dari “puasa kendang”, karena orang yang “puasa ayakan” pada intinya tidak pernah melakukan puasa.

Rupanya “puasa kendang” dan “puasa ayakan” telah menjadi inspirasi bagi sebagian para pemangku jabatan semacam kepala daerah, wakil-wakil rakyat, dan sebagainya. Mereka tampak begitu bersahaja pada saat berkampanye dan pada hari-hari terkahir masa tugasnya untuk mengundang simpati masyarakat agar dipilih kembali.

Semasa bertugas, hampir tidak pernah melakukan apa-apa selain meraup materi untuk mengganti biaya kampanye dan mempersiapkan kampanye berikutnya. Penampakannya hanya di awal dan akhir masa jabatannya, atau sebut saja “pejabat kendang”. Hobinya pasti bersenang-senang berenang dalam lautan uang, hasil mendulang dari tindakan sewenang-wenang.

Begitu juga pejabat yang bermental “ayakan” tentunya lebih parah lagi. Ia memakan apapun yang ditemukan, tanpa harus mempertimbangan halal atau haram. Berbagai kasus korupsi yang menjerat beberapa kepala daerah dan anggota DPR, menunjukkan bahwa “pejabat kendang” dan “pejabat ayakan” semakin merajalela.

Mereka berusaha mempertontonkan dirinya sedang “berpuasa”, tetapi pada saat ada kesempatan dan orang-orang lengah, maka disantaplah hutan lindung, laut, alat berat, uang rakyat, dan apapun yang ditemuinya.

Karuhun Sunda pun tampaknya merasa gerah menyaksikan orang yang mengaku muslim tetapi tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Dan yang lebih parah lagi, mereka tidak menghargai atau tidak mempedulikan orang di sekitarnya yang sedang menjalankan ibadah puasa. Tradisi tidak peduli masih terpelihara hingga zaman ini.

Mereka tidak merasa malu untuk makan, minum, atau merokok di tempat umum. Masih mending jika yang terlihat hanya kakinya saja. Terciptalah sebuah carmina (pantun kilat) berbahasa Sunda yang sampai sekarang masih populer, “puasa kuda lebaran munding/ puasa teu kaduga lebaran ginding (puasa tidak kuat, lebaran mentereng). Sebuah sindiran yang ditujukan kepada orang yang tidak suka berpuasa, tetapi pada saat merayakan hari lebaran berpenampilan mewah.

Sudah bukan rahasia lagi dan menjadi fenomena umum bahwa merayakan lebaran di desa sarat dengan adu tampan dan menawan. Terutama bagi mereka yang sehari-harinya merantau di kota-kota besar.

Pakaian baru, makanan serba ada, kendaraan mewah, mengecat rumah, selalu mewarnai setiap hari raya lebaran. Untuk memenuhi kemewahan tersebut, terkadang ada kesan memaksakan diri. Misalnya dengan meminjam uang ke rentenir atau menggadaikan perabotan rumah untuk sekedar merental kendaraan.

Pokoknya semua cara dilakukan agar lebaran bisa ginding, untuk menunjukkan kesuksesannya merantau di kota besar. Materi kini semakin kokoh menjadi barometer untuk mengukur derajat manusia. Itulah kenyataan yang ada jika tidak menutup mata.

Mari membuat carmina baru, puasa tomat lebaran durian/ puasa tamat, lebaran basajan (puasa tamat, lebaran sederhana).***

Bandung, 2007

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post