Cahyo Lili Adi Sunarya - Mantri Kesehatan Yang Menjadi Dalang Wayang Golek

Cahyo Lili Adi Sunarya


Catatan DHIPA GALUH PURBA

Menjadi seorang dalang wayang golek memerlukan  kerja keras dan keseriusan dalam mendalami ilmu padalangan.

Seperti perjalanan yang dilalui oleh H. Cahyo Yuswana, yang sehari-harinya dikenal sebagai seorang Mantri kesehatan di Kampung Sriwinangun, Desa/ kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis.  Mantri Cahyo memiliki sisi lain dari sosoknya, yakni menjadi seorang dalang wayang golek yang cukup dikenal oleh masyarakat.

Tidak terlalu sulit untuk mencari tempat kediaman Cahyo Yuswana. Di Kampung Sriwinangun, Desa/ Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis. Namanya sudah sangat melekat di hati masyarakat. Tidak terlalu mengherankan, sebab Cahyo sudah bekerja di dinas kesehatan sejak taun 1975.

Pengabdiannya dan jasa-jasanya terhadap masyarakat dalam bidang kesehatan sudah sangat dirasakan oleh masyarakat sekitarnya.  Cahyo pernah dipercaya untuk memegang jabatan sebagai pimpinan Puskesmas Panjalu.

Apalagi ketika sudah dikenal sebagai seorang dalang wayang golek, namanya lebih mudah lagi untuk diingat.  Cahyo semakin memantapkan dan menekuni ilmu wayang golek. Kecintaannya terhadap seni budaya warisan leluhur telah melekat dalam jiwanya.

"Semula saya memang tidak mengira bahwa antara wayang golek dan kesehatan itu ada hubungannya. Tapi lama-lama saya merasa yakin, jika keduanya ternyata saling mendukung, asalkan bisa kreatif  dalam meracik pertunjukannya," begitu kata Cahyo.

Menurut Cahyo, wayang golek justru bisa dijadikan sebagai media untuk memasyarakatkan kesehatan. Sebagaimana pada jaman para wali juga, wayang golek digunakan menjadi salah satu media dalam penyebaran agama Islam.

Dan saat ini, seperti dirasakan oleh segenap masyarakat,  wayang golek semakin digemari oleh berbagai kalangan, dari mulai anak-anak, remaja sampai orang tua. Keberhasilan memasyarakatkan wayang golek tak  bisa terlepas dari jasa-jasa para dalang dalam meracik karyanya. Diantaranya seperti yang dilakukan oleh dalang kondang Asep Sunandar Sunarya.

Awal mula perintisan karir Cahyo dalam dunia dalang dimulai ketika pada tahun 1980-an, Panjalu dikunjungi oleh seorang ahli kesehatan dari Amerika Serikat. Maksud dan tujuan kedatangannya adalah untuk mengkampanyekan proyek air bersih kepada masyarakat. Dan yang menarik bagi Cahyo, ahli kesehatan itu membawa sepasang wayang golek panakawan (Semar, Astrajingga, Dawala, dan Gareng).

Sepertinya orang asing itu sangat menyukai jenis kesenian wayang golek. Buktinya dia langsung menanyakan siapa yang bisa menjadi dalang untuk mediator pemasyarakatan proyek air bersih? Tentu saja semuanya tidak ada sang menyanggupinya. Termasuk Cahyo yang saat itu masih sangat awam terhadap wayang golek. Awalnya Cahyo tidak berani mengacungkan tangan.

Tapi dikarenakan semuanya tidak ada yang maju, dan  khawatir mengecewakan ahli kesehatan itu, akhirnya Cahyo pun memberanikan diri untuk menyanggupinya. Para pegawai dinas kesehatan yang lainnya pun terkejut. Sepertinya tidak percaya akan keberanin seorang Cahyo Yuswana.

Cahyo bukannya mengesampingkan atau tidak melirik para dalang yang berdomisili di daerah, yang tentunya memiliki kemampuan bagus untuk memainkan wayang golek. Tapi masalahnya sasaran yang hendak dicapainya itu sangat berhubungan dengan kesehatan.

Dialog-dialog wayang goleknya pun hanyalah seputar kesehatan saja, dan tidak ditekankan untuk membuat sebuah alur cerita Ramayana atau Maha Bharata. Sampai pada akhirnya pertunjukan perdana Cahyo pun dimulai.

Dengan hanya berbekal keberanian saja, Cahyo memberanikan diri memainkan wayang panakawan, dengan dialog-dialog seputar kesehatan dan proyek air bersih. Penontonnya pun cukup antusias dalam menyaksikan pementasan wayang golek dadakan tersebut.

Semuanya merasa puas dengan penampilan Cahyo, yang sudah menampakan bakatnya untuk menjadi dalang. Sedangkan Cahyo sendiri  sekujur tubuhnya dibanjiri oleh cucuran keringat. Itulah pengalaman pagelaran wayang golek pertama Mantri Cahyo.

Sejak itu Cahyo sering merenung dan tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya untuk lebih mendalami dunia wayang golek. Hampir tiap malam Cahyo mendengarkan wayang golek melalui radio atau nonton di televisi. Kalau pun tidak ada acara wayang, Cahyo  kembali memutar kaset wayang golek yang 'diborong' dari toko kaset.

Tapi belajar sendiri itu lama-lama menjadi jenuh dan bosan. Itulah yang mendorong Cahyo untuk berguru kepada Darso Apek Gunawijaya, seorang dalang ternama di kota Ciamis. Dalam jangka waktu satu tahun saja, kemampuan Cahyo langsung dites dengan mementaskan sebuah pertunjukan wayang golek di daerah Sadawangi-Majalengka.

Semangatnya semakin menggelora dengan didampingi oleh sinden Tating yang cukup terkenal. Bahkan dari sinden Tating inilah, Cahyo mendapat dorongan yang lebih kuat untuk mendalami lagi ilmu perdalangan. Tapi Cahyo tidak terlibat 'cinta lokasi' dengan sinden cantik tersebut. Selain selalu ingat terhadap istri, anak dan cucunya, juga dikarenakan Cahyo terlalu konsentrasi penuh pada pagelaran.  Begitu kata Cahyo sambil tersenyum.

Cita-citanya untuk menjadi seorang dalang bukanlah sekedar omong kosong. Buktinya Cahyo pun menemui dalang kondang Asep Sunandar Sunarya untuk berguru dengan lebih serius. Tapi dikarenakan pada saat itu Asep Sunandar sedang sibuk,  Cahyo diantarkan untuk menemui dan berguru kepada Lili Adi Sunarya (Alm).

Begitulah, setiap hari Jum'at, Cahyo berangkat ke Bandung untuk menuntut ilmu padalangan. Pulang lagi ke Panjalu pada hari Minggu malam, untuk memenuhi tugas dinasnya hari senin. Dengan hanya menggunakan sepeda motornya, Cahyo mengarungi perjuangan tersebut.

Pernah suatu kali ketika pulang dari Bandung, motornya mogok di tengah jalan. Disamping mogoknya di tengah suasana yang sepi, ditambah keadaan  yang sudah tengah malam.  Cahyo sempat menitikan air mata, bercampur dengan rintikan air hujan yang mulai membasuhi bumi. Cahyo sangat sedih, sebab esok harinya sudah ada jadwal untuk menyunat seorang anak.

Baru pada tahun 1998, Cahyo diwaju dengan mendapat sertifikat padalangan dari Lili Adi Sunarya. Selain itu, Lili Adi Sunarya pun mewariskan sebuah nama dalang kepada Cahyo, yang kini dikenal 'Cahyo Lili Adi Sunarya'.

Sesudah itu,  Cahyo mendirikan grup kesenian wayang golek yang bernama 'Giri Kancana Wangi'. Sesuai perintah gurunya, dalam sembilan kali pagelaran wayang golek pertama, Cahyo tidak boleh ikut menikmati hasilnya,  harus dibagikan kepada para nayaga dan sinden.

Barulah pertunjukan yang kesepuluh, Cahyo diperbolehkan untuk ikut menikmatinya hasil jerih payahnya.

Giri Kancana wangi, pimpinan Cahyo Lili Adi Sunarya, telah mementaskan berbagai pagelarannya di kota-kota Jawa-Barat. Pernah juga pada tahun 1990 ditugaskan oleh Dinas Kesehatan Jabar untuk menggelar berbagai pementasan wayang golek dengan tema POLINDES (Poliklinik Bersalin Desa).

Selain itu, Giri Kancana Wangi pernah mengsi acara wayang golek di TVRI Bandung (tahun 1995) dan di RRI Bandung (tahun 1997). Tentunya disamping pagelaran-pagelaran lainnya dalam acara hajatan atau peringatan hari besar.

Adakah pengalaman Cahyo yang paling mengesankan ketika mementaskan wayang golek? Tentu saja ada, begitu kata Cahyo. Kejadiannya pada saat Cahyo membuat sebuah acara wayang golek dalam rangka memeriahkan proklamasi kemerdekaan RI. Entah mendapat ilham dari mana, Cahyo membuat pertunjukan wayang golek dalam sebuah mobil bak. Kemudian mobil tersebut mengelilingi kampung-kampung di Desa Panjalu.

Para penontonnya banyak yang merasa takjub, heran bercampur geli. Penonton setia Cahyo, terpaksa harus menonton wayang sambil berjalan mengikuti arah lajunya mobil bak. Bahkan ada yang sengaja menyewa ojek untuk menyaksikannya sampai selesai.

Tak heran jika ada diantara para penonton yang pingsan, mungkin dikarenakan terlalu jauh berjalan. Benar-benar merupakan pertunjukan wayang golek spektakuler yang jarang terjadi. Menonton wayang sambil olahraga, atau olahraga sambil nonton wayang golek.

"Bagus itu, untuk kesehatan..." kata Cahyo menutup perbincangannya.***



0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post