Oleh: EDI S. EKADJATI
Senjata warisan leluhur di Kabuyutan Ciburuy |
ADA tiga naskah lontar Sunda kuna yang dalam teksnya menyebutkan banyak nama tempat. Tempat-tempat yang disebutkannya bukan hanya terletak di Tatar Sunda, melainkan juga terletak di Nusantara dan luar Nusantara.
Tentu, hal ini mencerminkan pengetahuan geografis orang Sunda masa itu. Adapun ketiga naskah itu adalah Bujangga Manik, Sanghiyang Siksakandang Karesian, dan Carita Parahiyangan.
Bujangga Manik adalah naskah karya Perebu Jayapakuan, anggota keluarga keraton di Pakuan Pajajaran (ibukota Kerajaan Sunda).
Ia menamakan dirinya Bujangga Manik. Naskah ini berisi catatan perjalanan penulisnya tatkala mengelilingi Pulau Jawa dan Bali sebanyak dua kali.
Dalam catatan tersebut ia menyebutkan nama-nama tempat, termasuk nama gunung, sungai, dan pulau, yang dilalui dan dilihatnya dari jarak dekat dan jarak jauh serta nama tempat asal orang dan kapal laut (juga tujuan kapal) yang bertemu dengannya.
Ada sekitar 450 nama tempat yang disebut oleh Bujangga Manik, yang meliputi Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Cina.
Sanghiyang Siksakandang Karesian merupakan naskah yang berisi informasi tentang khazanah budaya Sunda pada masa itu.
Suhamir, arsitek dan peneliti sejarah Sunda Kuna yang wafat di Bandung pada 1966, menamakan nasakah itu sebagai “ensiklopedi kebudayaan Sunda”. Di dalamnya disebutkan 55 nama tempat beserta bahasanya yang diketahui dan dikuasai oleh Jurubasa Darmamurcaya (penerjemah).
Tempat-tempat itu meliputi Kepulauan Nusantara dan luar Nusantara (Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Barat), yang kalau dilihat dari perairan lautnya meliputi laut-laut di Kepulauan Nusantara, Laut Cina Selatan, Lautan Hindia, Laut Arab, Laut Merah, dan Teluk Persia.
Sebagaimana tercermin dari judulnya—Carita Parahiyangan—, naskah ini menyebutkan tempat-tempat di Tatar Sunda dan hanya beberapa tempat di luar Tatar Sunda.
Memang, naskah ini mengisahkan sejarah Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda sejak didirikan pada sekitar abad ke-7 atau ke-8 hingga keruntuhannya pada 1579.
Di dalamnya disebutkan 81 nama tempat yang mencakup Tatar Sunda, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa tempat di luar Pulau Jawa.
Dua naskah yang disebutkan lebih dulu disusun ketika Kerajaan Sunda masih ada, sedangkan teks Carita Parahiyangan disusun tak lama setelah kerajaan itu runtuh.
Lebih tepatnya, Bujangga Manik disusun sebelum 1511, yaitu sebelum Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Sementara Sanghiyang Siksakandang Karesian disusun pada 1518 sebagaimana dikemukakan pada candrasangkala-nya yang berbunyi “nora catur sagara wulan” (1440 Saka = 1518 Masehi).
Adapun Carita Parahiyangan disusun sesudah 1579 (sesudah runtuhnya Kerajaan Sunda), tapi sebelum 1596 (sebelum datangnya rombongan orang Belanda pertama yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman), karena dinyatakan pada akhir teksnya bahwa Kerajaan Sunda telah dikalahkan oleh kekuatan Islam (Cirebon dan Demak), dan Banten masih disebut Wahanten Girang, dan hanya disebutkan Portugis, sedangkan Belanda samasekali tidak disebut-sebut.
Pada umumnya perjalanan Bujangga Manik itu melalui jalan darat dengan jalan kaki, kecuali dalam perjalanan pulang yang pertama dari Pemalang (sekarang di Jawa Tengah) ke Kalapa (sekarang Jakarta) serta menyeberang dari Balungbungan (Blambangan) di ujung timur Pulau Jawa ke Bali dan sebaliknya.
Dua perjalanan yang disebutkan belakangan ditempuh melalui jalan laut dengan naik kapal. Yang pertama, naik kapal laut milik orang Malaka (Itu parahu Malaka. Turun aing ti Pamalang, tuluying numpang balayar, … Balayar satengah bulan, banyat aing di Kalapa).
Yang kedua, mula-mula menyeberang dari Blambangan ke Bali dengan naik kapal yang dinakhodai puhawang Selabatang yang kebetulan akan menyeberang ke Pulau Bali dan terus berlayar ke Bangka (Kasampak aki puhawang, na puhawang Selabatang, dek meuntas ka nusa Bali, dek tuluy layar ka Bangka.
Aing dek numpang ka Bali), kemudian dari Bali ke Blambangan dengan naik kapal laut yang dinakhodai puhawang Belasagara yang akan berlayar menuju ke Parayaman (Pariaman di pesisir Sumatera Barat) dan Palembang (Sacunduk ka sisi laut, kasampak aki puhawang, puhawang Belasagara, dek balayar ka Palembang, dek tuluy ka Parayaman. … Akiing juru puhawang, aing dek numpang di kita, dek sindang di Balungbungan).
Pada umumnya perjalanan darat Bujangga Manik di Pulau Jawa ditempuh dengan menyusuri daerah pesisir utara dan pesisir selatan, kecuali perjalanan keberangkatan pertama dari Pakuan melalui Puncak sampai ke daerah sebelah utara Sumedang sehingga tampak Gunung Tampomas.
Ia menyeberang Sungai Cimanuk (Sadatang aing ka Puncak, deuuk dina mungkal datar, teher ngahihidan awak dan ngalalar ka Tompo Omas, meuntas aing di Cimanuk). Perjalanan pulang kedua dari Pananjung (sekitar Pangandaran sekarang) melalui daerah pedalaman Priangan sampai ke Pakuan (cunduk aing ka Pananjung, ka gedeng nusa Wuluhen, meuntas aing di Ciwulan, … kapungkur Gunung Galunggung, … datang ka bukit Cikuray, ngalandeuh aing ti inya, … Eta na bukit Patuha, … Itu Tangkuban Parahu, … Itu ta na Gunung Sunda, … meuntas aing di Cisokan, … Sadatang ka bukit Ageung, eta hulu Cihaliwung, kabuyutan ti Pakuan, sanghiang Talaga Warna).
Sebagai gambaran rute perjalanan Bujangga Manik yang panjang itu, berikut ini didaftarkan beberapa nama tempat yang dilalui dan dilihatnya dan masih dikenal hingga sekarang: dari keraton di Pakuan, ke Pakancilan, lalu menyeberang Sungai Cihaliwung, ke Cileungsi, Citeureup, Timbun (Tambun?), menyeberang Sungai Citarum, Sungai Cilamaya, Sungai Cipunagara, dan Sungai Cimanuk, tampak Gunung Ciremay bagian utara, Kuningan, menyeberang Sungai Cisinggarung (Cisanggarung), Sungai Cipamali (Kali Pemali), dan Sungai Cicomal (Kali Comal), ke Batang, Pakalongan, Padanara (Semarang), Demak, Gegelang, Bubat, Majapahit, Gresik, tampak Gunung Brahma (Bromo), Panarukan, Balungbungan, menyeberang ke Bali, kembali ke Balungbungan, tampak nusa Barong (Nusa Barung di pesisir selatan Jawa Timur), Lamajang (Lumajang), Gunung Mahameru (Semeru), Balitar, tampak Gunung Marapi (Merapi sebelah utara Yogyakarta), Mataram, Adipala (daerah Banyumas), menyeberangi muara Sungai Cisarayu (Kali Serayu), Sagaranakan, dan muara Sungai Citanduy, tiba di Pananjung, selanjutnya sama seperti rute perjalanan pulang kedua tersebut di atas dan sampailah akhirnya ke Pakuan kembali.
Selain itu, disebutkan pula beberapa nama tempat (kota pelabuhan, wilayah, negeri) di luar Jawa dan Bali, walaupun tidak dikunjungi Bujangga Manik, seperti Malaka, Bangka, Makasar, Palembang, Parayaman, Jambi, Keling (India), Cina, Gedah (Kedah di Malaysia sekarang), Lampung, Tanjungpura (di Kalimantan), Cempa (di Vietnam), Malayu, Pasay (di Aceh), Salembu (?).
Di antara 55 tempat yang disebut dalam Sanghiyang Siksakandang Karesian, sebagian telah dikemukakan dalam naskah Bujangga Manik seperti yang dituturkan tadi. Namun sebagian lagi tidak disebutkan, yaitu untuk wilayah luar Nusantara adalah Medinah dan Mekah (di Tanah Arab), Parsi (Iran sekarang), Mesir, Banggala dan Nagara Dekan (di India), Pegu (Myanmar), Kelantan, Kedah, dan Pahang (di Malaysia); untuk wilayah Nusantara adalah Surabaya di Jawa Timur; Samudra, Tulangbawang, Ogan, Kumering, Andalas, Minangkabau, Manumbi, Indragiri, dan Sakampung di Sumatera; Buton di Sulawesi; Sasak dan Sumbawa di Nusatenggara; Seram dan Solor di Maluku; sedangkan Buwun, Sela, Buretet, Lawe, Jenggi, Sabini, Kanangen, Simpangtiga, Gumantung, Tego, Badan, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Solodong, dan Baluk belum teridentifikasi lokasinya sekarang (Aya ma nu urang dek ceta, ulah salah geusan nanya. Lamun dek nyaho di carek paranusa ma: carek Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kalanten, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Parayaman, Nagara Dekan, Dinah, Andeles, Tego, Maloko, Badan, Pego, Malangkabo, Mekah, Buretet, Lawe, Saksak, Sembawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ngogan, Kanangen, Kumering, Simpangtiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjungpura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; sing sawatek paranusa ma, Sang Jurubasa Darmamurcaya tanya).
Dari 81 tempat yang tertera dalam naskah Carita Parahiyangan terdapat beberapa tempat yang tidak disebutkan dalam naskah Bujangga Manik dan Sanghiyang Siksakandang Karesian, antara lain Medangjati, Kendan (di Nagreg, Bandung Timur), Menir, Galuh, Muntur, Parahiyangan, Arile, Saunggalah, Kahuripan, Winduraja, Nusalarang, Rancamaya, Rajagaluh, Wahanten Girang, dan Ciranjang yang berada di wilayah Tatar Sunda; Merapi dan Kali Praga di Jawa Tengah; dan Barus di Sumatera Utara.
Ternyata hampir seluruh data geografis tersebut diutarakan pula dan sesuai dengan data geografis dalam sumber sejarah primer berupa prasasti, naskah lain, berita Portugis, dan benda-benda peninggalan purbakala lainnya, seperti prasasti Kebon Kopi II, Kawali, Sanghiyang Tapak, Batutulis, Kebantenan, Huludayeuh untuk nama-nama tempat di wilayah Tatar Sunda; naskah Negarakertagama dan Pararaton untuk nama-nama tempat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan wilayah Nusantara lainnya; catatan perjalanan orang Portugis: Tome Pires (1513), Baros (1512, 1522, 1526, 1546), Duarte Barbosa (1500-1517), dan Peter Floris (1610-1615) untuk nama-nama tempat di wilayah Nusantara dan luar Nusantara. Jadi, data geografis yang tertera pada tiga naskah lontar Sunda kuna itu merupakan data sejarah bernilai tinggi.
Timbul pertanyaan, mengapa orang Sunda abad ke-16 dapat mengenal data-data geografis yang meliputi wilayah perairan Asia yang sangat luas itu? Masalahnya, orang Sunda dikenal sebagai orang yang tidak suka merantau, melainkan orang yang senang berkumpul dengan sesama kerabatnya di tanah kelahirannya sesuai dengan ungkapan kurung batok dan bengkung ngariung bongkok ngaronyok.
Apabila karakter dan tradisi hidup orang Sunda tersebut dikaitkan dengan penguasaan pengetahuan geografis yang luas tadi, kiranya tak sepadan dengan, dan tak dapat menjawab, pertanyaan di atas. Untunglah, ketiga naskah lontar Sunda kuna itu sendiri mengungkapkan jawaban bagi pertanyaan seperti itu.
Ternyata, naskah Bujangga Manik mengemukakan bahwa ada kebiasaan orang pada Sunda untuk mengembara ke luar tanah air mereka, dalam hal ini ke Jawa dan Bali. Selain itu, orang Sunda terbiasa berhubungan dengan nakhoda kapal dan naik kapal laut; artinya suka pergi ke luar tempat kelahirannya.
Naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian mengungkapkan informasi bahwa orang Sunda suka merantau ke luar tanah airnya, bukan hanya di wilayah Nusantara, melainkan juga sampai ke negeri Cina. Mereka biasa merantau dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat menguasai bahasa dan kebudayaan bangsa yang didatanginya.
Gambaran tersebut tercermin dalam penuturan berikut: “Urang leumpang ka Jawa, hamo nurut carekna deungeun carana, mangu rasa urang. Anggeus ma urang pulang deui ka Sunda, hanteu bisa carek Jawa, asa hanteu datang nyaba” (Kita pergi ke Jawa, tidak mengikuti bahasa dan adatnya, termangu-mangu perasaan kita. Setelah kita kembali ke Sunda, tidak dapat berbahasa Jawa, seperti yang tidak pernah merantau).
“Ini ma upama janma tandang ka Cina, heubeul mangkuk di Cina, nyaho di karma Cina, di tingkah Cina, di polah Cina, di karampesan Cina; katemu na carek telu: kanista, madya, utama.” (Ini mengumpamakan seseorang merantau ke Cina, lama tinggal di Cina, faham perilaku orang Cina, tingkah Cina, ulah Cina, keberesan Cina, dapat memahami bahasa ketiga golongannya: yang rendah, yang menengah, yang tinggi).
Sementara itu orang Portugis (Tome Pires, Baros) menyaksikan bahwa di sepanjang pesisir utara Kerajaan Sunda ada 7 kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang yang berasal dari wilayah Nusantara dan luar Nusantara, yaitu Banten, Pontang, Cikande, Tangerang, Karawang, dan Cimanuk (Indramayu).
Cirebon, katanya, sudah berada di luar kekuasaan Kerajaan Sunda. Tentu, orang-orang Sunda pun turut dalam kegiatan perniagaan dan pelayaran internasional itu, seperti yang dikemukakan oleh J. Hageman berdasarkan sumber tradisi, bahwa Haji Purwa adalah pedagang besar yang memiliki banyak kapal laut dan biasa berlayar sampai ke India dan Arab. Ia berasal dari keluarga Keraton Galuh.***
Penulis semasa hidupnya pernah menjadi Gurubesar Universitas Padjadjaran dan Ketua Pengurus Pusat Studi Sunda di Bandung. Tulisan ini dimaksudkan pula sebagai bahan presentasi dalam Simposium Internasional ke-9 Pernaskahan Nusantara, 5 - 8 Agustus 2005, di Keraton Buton, Kota Bau-bau, Sulawesi Tenggara.
Komentar